REVIEW : BUFFALO BOYS


“Balas dendam mungkin adalah hak. Tapi pengampunan akan membuat batinmu lebih kuat.” 

Apabila ada penghargaan untuk ‘trailer film paling keren’, Buffalo Boys mestinya mendapatkan penghargaan tersebut. Betapa tidak, dalam tempo waktu sepanjang 2,5 menit, tim penyusun trailer mampu menyusun secara rapi rentetan money shots yang dipunyai oleh film garapan Mike Wiluan (produser Rumah Dara dan Headshot) tersebut diiringi dengan musik menggebu-nggebu sehingga menghasilkan trailer yang amat menjual. Disamping pengemasan, ada satu hal yang menarik perhatian dari trailer ini: tampilan yang memberi kesan bahwa Buffalo Boys bukanlah film produksi Indonesia. Ada yang bilang mirip film Hollywood, tapi bagi saya lebih mirip ke film Asia berbujet besar dengan skala produksi internasional (dan kenyataannya, memang seperti itulah Buffalo Boys). Apapun pendapatmu, rasanya kita sama-sama sepakat kalau trailer ini mengundang ketertarikan untuk menontonnya secara seketika bahkan sempat membuat saya mengucap, “nyoh, nyoh, ini lho duitku! Aku rela kamu ambil, nyoh nyoh!,” selepas menengok trailernya. Tak bisa dibendung, ada ekspektasi menjulang yang tercipta dari sini. Lebih-lebih, Buffalo Boys menghembuskan nafas baru bagi perfilman Indonesia dengan menghadirkan tontonan laga berbumbu sejarah tanah air di era kolonial menggunakan pendekatan bak western film. Sebuah tontonan yang tentunya jarang-jarang bisa ditemui di perfilman yang lebih gemar mengkreasi “tontonan murah meriah” ketimbang genre movies yang membutuhkan ongkos produksi raksasa. 

Buffalo Boys melemparkan penonton ke abad 19 tatkala Belanda masih menancapkan kukunya di bumi pertiwi. Penindasan terhadap pribumi oleh kompeni masih jamak dijumpai dimana-mana, termasuk di sebuah kota kecil tanpa nama yang terletak di Pulau Jawa. Sebuah kota kecil dibawah kekuasaan pemimpin lalim bernama Kapten Van Trach (Reinout Bussemaker) yang memaksa rakyatnya untuk menanam opium yang dianggap lebih menguntungkan. Apabila mereka menolak dan tetap kekeuh bercocok tanam dengan padi, anak buah Van Trach tanpa segan-segan akan turun tangan lalu mengeksekusi para pemberontak. Entah ditembak langsung, digantung hidup-hidup di tengah hutan, atau diserahkan ke algojo untuk digantung di alun-alun. Penindasan ini terus berlangsung selama bertahun-tahun lamanya sampai kemudian ‘ratu adil’ datang membawa harapan kepada rakyat cilik dalam wujud dua kakak beradik, Jamar (Ario Bayu) dan Suwo (Yoshi Sudarso), beserta paman mereka, Arana (Tio Pakusadewo). Kedatangan mereka bertiga ke kota ini sebetulnya dalam rangka membalas dendam kematian Sultan Hamza (Mike Lucock), ayah dari kakak beradik ini, yang dibunuh secara membabibuta oleh Van Trach. Akan tetapi, perkenalan ketiganya dengan Kiona (Pevita Pearce), putri dari seorang kepala desa, dan sang kakek, Suroyo (El Manik), lantas mengubah rencana mereka dari misi balas dendam menjadi misi menyelamatkan rakyat terlebih setelah mereka menyaksikan secara langsung bagaimana Van Trach memperlakukan rakyatnya secara semena-mena.


Sebagai film Indonesia pertama yang mengawinkan genre laga dengan elemen sejarah dan pendekatan western film, Buffalo Boys tentu layak diapresiasi. Kapan lagi coba kita bisa mendapatkan tontonan semacam ini? Agak sulit membayangkan akan ada film sejenis dalam waktu dekat. Ini bagaikan oase ditengah keringnya ragam film dalam perfilman Indonesia. Mike Wiluan beserta rumah produksi Screenplay Infinite Films mesti diberi kredit khusus untuk inovasi mereka sekalipun hasil akhir Buffalo Boys kurang menggairahkan. Tunggu, tunggu, kurang menggairahkan? Ya, saya mau tak mau – dengan berat hati – harus menyampaikan satu berita tak membahagiakan ini kepada para pembaca yang budiman; Buffalo Boys ternyata tidaklah segahar trailernya. Ada berbagai problematika yang dihadapinya sepanjang durasi merentang, baik itu berasal dari skrip, pengarahan, penyutingan, gerak kamera, sampai efek khusus. Ibarat skripsi, coret-coretan dosen pembimbing bisa dijumpai di hampir setiap halaman. Yang paling krusial dan berkontribusi terhadap berkurangnya semangat dalam menonton adalah skenario racikan trio Mike Wiluan, Raymond Lee, dan Rayya Makarim yang setipis kertas. Jangankan memperoleh referensi sejarah yang memberi nutrisi pada otak, skripnya saja masih kelabakan dalam memberi latar belakang yang memadai bagi dua karakter utama film sebagai penggerak roda cerita (misal: kenapa sih mereka minggatnya jauh ke Amerika? Lalu, bagaimana karakteristik keduanya?). Belum lagi ditambah logika-logika bercerita yang menimbulkan tanda tanya besar dan dialog-dialog yang dilontarkannya terdengar janggal sekali seperti para karakter ini sedang membaca buku teks Bahasa Indonesia ketimbang ngobrol. 

Alhasil, saya tidak pernah bisa betul-betul mengenal Jamar dan Suwo. Saya hanya tahu Jamar adalah sosok yang keras dan memiliki ketakutan pada kalajengking, sedangkan Suwo adalah pribadi yang kerap disepelekan (karena dia bungsu) dan mempunyai magnet kuat ke perempuan. Itupun hanya dijelaskan melalui satu dua dialog, satu dua adegan, tanpa ada impak berarti ke penceritaan. Jajaran karakter pendukungnya malah hanya dijelaskan lewat reaksi mereka terhadap karakter utama; jika menerima kehadiran para karakter utama maka mereka adalah orang baik yang tersakiti, dan jika geram maka mereka adalah orang jahat yang perlu dilawan. Konstan berada di area hitam dan putih dari babak pertama hingga babak ketiga, tanpa ada satupun relawan yang berkenan menyebrang ke area abu-abu untuk menambah greget. Alhasil (maaf saya mengulanginya lagi), bangunan karakternya membosankan. Van Trach dan Kiona sebetulnya paling memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai karakter yang memiliki kompleksitas. Van Trach mewakili supremasi kulit putih yang eksistensinya terancam oleh kaum minoritas, sedangkan Kiona adalah representasi perempuan yang teropresi oleh budaya patriarki dan berusaha memberi perlawanan. Alih-alih dikembangkan lebih lanjut, mereka berdua justru terjerembab ke stereotip; Van Trach adalah penjahat keji tanpa motif memuaskan kecuali karena dia berdarah Belanda dan Kiona hanyalah damsel in distress seperti halnya Sri (Mikha Tambayong), adiknya, yang tetap membutuhkan pertolongan dua jagoan utama kita yang lempeng-lempeng saja itu. 



Bangunan karakter yang lemah ini lantas berimbas ke performa jajaran pelakonnya yang terasa hampa. Mengerahkan aktor-aktris keren sebanyak itu untuk mengisi departemen akting, hanya satu dua yang meninggalkan impresi baik. Mereka adalah Happy Salma sebagai Seruni (simpanan Van Trach), dan duo pemeran anak buah Van Trach, Zack Lee beserta Hannah Al Rashid, yang entah siapa nama karakter yang mereka perankan. Ironisnya, Zack dan Hannah hanya dibekali secuplik dialog saja, lalu hanya mejeng di depan kamera kala adegan berantem siap dilaksanakan. Dihilangkan pun sejatinya tidak jadi soal, kecuali mengurangi stok penampilan bagus di film. Ada banyak sekali pemeran yang keberadaannya tersia-siakan disini sebagai akibat dari ketidaklincahan Mike Wiluan dalam menempati posisi tukang bercerita. Naskahnya lemah, begitu pula dengan pengarahannya yang nyaris tanpa tenaga. Buffalo Boys mengalun dengan tempo tersendat-sendat yang membuat saya sempat beberapa kali menengok jam tangan. Menilik hasil akhir naskahnya, saya sejujurnya sangat menyayangkan keputusan si pembuat film untuk mengaplikasikan mode serius ke nada penceritaan. Imbasnya, film akan sempat berada di fase menjemukan karena guliran penceritaan dan bangunan karakternya tidak cukup kuat untuk menjerat atensi penonton. Andai saja Buffalo Boys memang diniatkan sebagai popcorn movies semata yang tujuannya mengajak penonton bersenang-senang, boleh jadi film akan terasa lebih menyenangkan untuk ditonton karena saat berbicara mengenai sekuens laga, itu adalah kekuatan yang dipunyai oleh film ini. 

Ya, saya masih bersyukur bisa mendapati adanya sesuatu yang memacu semangat kala menyaksikan Buffalo Boys. Dalam catatan saya, setidaknya ada tiga momen laga yang dikreasi dengan cukup keren. Pertama, pertarungan ilegal di dalam kereta yang melaju kencang menembus gersangnya gurun California. Kedua, pertarungan di dalam bar yang melibatkan Yoshi Sudarso, Zack Lee, Hannah Al Rashid, beserta Pevita Pearce. Dan ketiga, konfrontasi akhir dengan kompeni. Gerak kamera yang kurang gesit (kerap melewatkan detil-detil penting), efek khusus kasar, dan penyuntingan kurang lincah (paling kentara pada transisi adegan yang, yah…) memang sedikit menurunkan intensitas pada rentetan momen laga ini. Tapi secara keseluruhan, masih ada kesenangan yang diciptakan olehnya terlebih dengan iringan musik dari Zeke Khaseli dan Yudhi Arfani yang cukup memompa semangat. Setidaknya saya sempat pula menginginkan kompeni-kompeni keji ini digerus habis oleh para gudel (baca: anak kerbau dalam Bahasa Jawa) dalam satu tembakan atau satu bacokan. Disamping sekuens laga dan musik, yang juga membantu meningkatkan kelas Buffalo Boys sehingga tidak benar-benar tiarap adalah desain produksinya yang mengagumkan.


Kamu akan mendapati latar berikut kostum yang menyuarakan era kolonial secara meyakinkan di sini (ada percampuran antara pedesaan Jawa dengan perkotaan di film-film koboi) dan jika ada satu hal yang tidak diingkari oleh trailernya adalah tampilan Buffalo Boys yang tidak terlihat seperti film Indonesia. Kesan mahal yang dicitrakan lewat materi promosinya bukanlah tipu-tipu belaka sehingga keputusan untuk menyaksikannya di layar lebar tidaklah saya sesali. Bagaimanapun juga, terlepas dari sederet kelemahannya, Buffalo Boys tetaplah sebuah produk yang layak dikonsumsi.

Acceptable (3/5)