REVIEW : MUNAFIK 2


“Kamu hanya menggunakan nama Tuhan untuk kepentingan serakahmu.” 

Menurut saya, Munafik (2016) adalah salah satu film horor Asia terbaik dalam satu dekade terakhir. Syamsul Yusof yang merangkap jabatan sebagai sutradara, penulis skrip, aktor, editor, sekaligus pengisi soundtrack ini mampu memberikan warna berbeda bagi sajian horor dengan mengombinasikannya bersama unsur keagamaan – atau dalam hal ini, Islam. Memang betul Munafik bukanlah film pertama yang menawarkan pendekatan tersebut (setumpuk film horor asal Malaysia dan Indonesia dari era terdahulu telah menerapkannya), tapi agama tak sebatas dipergunakan sebagai hiasan untuk mempercantik film di sini. Ada signifikansinya terhadap narasi yang mengkritisi kaum beragama dengan ketaatan palsu, ada pula signifikansinya pada permainan teror. Adegan si protagonis melakukan ruqyah (eksorsisme dalam Islam) terhadap seorang perempuan berhijab yang kerasukan iblis adalah momen paling dikenang di film ini, disamping adegan di lift dan bola mantul-mantul. Saya meringkuk ketakutan saat menontonnya (hei, si iblis bisa merapal ayat suci!), saya juga menyeka air mata tatkala sebuah kebenaran terungkap di ujung durasi. Lebih dari itu, Munafik menggugah keimanan dalam diri yang masih cethek ini dengan mempertanyakan, “apakah ibadahku selama ini telah sesuai dengan petunjuk Tuhan, dilandasi ketulusan dari lubuk hati terdalam, atau hanya keterpaksaan demi menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat?.” 

Menurut saya, Munafik adalah film horor reliji yang efektif. Penggunaan terornya menyokong pesan yang diutarakan dengan sangat baik sehingga efek takut yang diberikan tak hanya berlangsung sementara dan memungkinkan penonton untuk buru-buru bertaubat. What a powerful film! Saking cintanya terhadap film ini, saya tentu bahagia bukan kepalang begitu mendengar jilid keduanya diproduksi. Ada ekspektasi dan antisipasi yang membumbung sama tinggi untuk menyaksikan petualangan Ustaz Adam (Syamsul Yusof) selanjutnya dalam mencari ridha Allah. Terlebih, si pembuat film membutuhkan tempo lebih dari setahun untuk merampungkan Munafik 2 yang memberi kesan bahwa penggarapannya tak main-main dan mempunyai tingkat kesulitan lebih tinggi dari sebelumnya. Dari sektor narasi, Munafik 2 memang mencoba lebih kompleks dalam berceloteh. Sekali ini, Ustaz Adam yang masih dihantui rasa bersalah usai kematian Maria (Nabila Huda) di film pertama dimintai pertolongan oleh kawan baik sang ayah untuk membantu menyembuhkan seorang warga desa yang terkena penyakit misterius. Dalam perjalanannya menuju desa terpencil tersebut, Adam mendapati fakta bahwa penduduk desa telah mengingkari ajaran Islam sesuai panduan Nabi Muhammad dan memilih untuk mengamalkan ajaran Islam menurut interpretasi penuh kepentingan dari seorang pemuka agama bernama Abu Jar (Nasir Bilal Khan). Barang siapa berani menolak ajaran Abu Jar, maka dia akan mendapat siksaan dari kelompok Abu Jar maupun guna-guna berujung kematian seperti dialami oleh pria yang hendak ditolong Adam beserta putrinya, Sakinah (Maya Karin). 


Menurut saya, Munafik 2 sebetulnya mengusung materi pembicaraan yang terbilang menggelitik lantaran relevan dengan situasi sosial politik dewasa ini. Syamsul Yusof mencoba untuk menyentil sejumlah oknum yang memanfaatkan agama sebagai barang dagangan demi merengkuh nikmat duniawi alih-alih memanfaatkan agama untuk menyebarkan kebaikan sekaligus mendekatkan diri kepada Yang Maha Satu. Oknum tersebut adalah mereka yang merasa dirinya paling benar dalam memahami ayat-ayat Tuhan, lalu memberi label 'kafir' pada siapapun yang enggan tunduk kepadanya. Tujuan dibalik tindakannya ada beragam meski sebagian besar diantaranya menunjukkan keserupaan, yakni dilandasi oleh haus kekuasaan. Bukankah oknum yang lantas diwakili oleh Abu Jar dalam film ini kian marak dijumpai belakangan ini? Tidak hanya terbatas pada Islam, tidak hanya berlaku di Melayu, tetapi seluruh agama dan seluruh dunia. Tatkala dituangkan ke dalam gagasan maupun tulisan di atas kertas, sosok Abu Jar yang dideskripsikan sebagai Firaun masa kini memang terdengar seperti villain amat berbahaya yang patut dikenang dalam sejarah sinema. Dia menghasut warga desa agar berpaling dari Tuhan lalu bersujud kepadanya menggunakan firman Sang Pencipta yang disesuaikan dengan kebutuhan kelompoknya beserta hadits palsu. Tapi dalam eksekusi, Abu Jar tak tampak semengancam itu karena penonton sudah mengetahui sedari awal bahwa dia adalah antagonis yang harus diperangi. Berbeda dengan kaum munafik di film pertama yang bersembunyi dibalik perangai alim, Abu Jar dan para pengikutnya telah memancarkan citra bengis melalui tingkah dan ucapan. Saking jelasnya, sebetulnya bukan perkara sulit bagi Sakinah beserta Adam untuk menyeret Abu Jar ke ranah hukum apabila mereka bersungguh-sungguh mengumpulkan bukti. 

Menurut saya, Munafik 2 telah menunjukkan ketidaksanggupannya dalam mengkreasi narasi semengikat jilid sebelumnya melalui kehadiran sosok antagonis yang kurang wajar. Abu Jar tak ubahnya villain klasik dalam film laga, superhero, atau semacamnya, yang memiliki gaya berbusana berlebih-lebihan seperti tingkah polahnya yang cenderung cartoonish dan motif dangkal. Syamsul Yusof tak pernah memerlakukannya sebagai karakter utuh dengan memberinya latar belakang seperti menjelaskan kehidupannya di masa lampau, titik balik yang mendasari perbuatannya, dan hubungannya dengan Sakinah (ada satu pertanyaan tak terjawab mengenai putri Sakinah). Penonton hanya diberi tahu bahwa dia jahat. Udah, titik, the end, wassalam. Mengingat dia adalah perwujudan dari oknum penjual agama, bukankah akan lebih menggigit kalau penonton mengetahui pemicu tindakannya dan dia digambarkan sebagai serigala berbulu domba? Maksud saya, sosok Abu Jar akan terlihat lebih meyakinkan – dan menyeramkan, tentunya – apabila dia bermulut manis ketimbang terus berteriak-teriak sepanjang film yang membuat telinga ini berdengung. Saya pun masih gagal paham, kenapa penduduk desa bisa memercayai bahwa Abu Jar adalah seorang ulama mengingat perangainya cenderung menyerupai penyihir keji? Ini tak pernah diberi penjelasan memuaskan seperti halnya pertanyaan mengenai lokasi desa terpencil ini (kadang terkesan jauh, kadang dekat sekali), para karakter yang tidak memiliki ponsel (mungkin demi menghindari maksiat), sampai kemampuan Sakinah yang mumpuni dalam mengapak manusia. Ya, dia bisa dengan mudah membantai manusia menggunakan kapak saat kepepet (bahkan di depan mata putrinya sendiri!) yang kemudian membuat saya tak habis pikir. Kenapa dia tidak sekalian saja membunuh Abu Jar? Daripada terus diajak kucing-kucingan ke dalam gua, ke dalam hutan, oleh kelompok Abu Jar. Saya yang menonton saja capek lho melihat mereka berulang kali tarik ulur kejar-kejarannya, masa mereka menikmati sih? Dasar manusia-manusia setrong. 


Menurut saya, Munafik 2 menunjukkan permasalahan sesungguhnya pada sektor narasi. Disamping karakterisasi yang tergolong flat character (bahkan, Maria lebih kompleks dibanding Sakinah maupun Abu Jar), kengototan si pembuat film supaya pesan moral terdengar oleh penonton dan rangkaian terornya bisa lebih menakuti penonton ketimbang film terdahulu justru membuat Munafik 2 tak lagi nikmat buat disantap. Dampak dari kengototan Syamsul Yusof terhadap dua hal tersebut menyebabkan film terdengar amat berisik. Di satu sisi kita mendengar beberapa karakternya bersuara lantang dalam berdakwah, di sisi lain kita mendengar iringan musik yang terus bergemuruh mengikuti serentetan penampakan yang tak sedikit diantaranya dimunculkan tanpa arti. Harus diakui, kepala saya nyut-nyutan tak karuan sampai butuh Panadol karena film tak pernah sekalipun memberi waktu bagi penonton untuk menghela nafas. Ini tentu akan mengasyikkan apabila penceritaan dan jump scares yang ditebar terus efektif. Dalam kasus Munafik 2, daya tariknya terus mengempes seiring berjalannya durasi. Saya capek dijejali pesan moral yang disampaikan dengan gaya seorang khatib yang berteriak-teriak di atas mimbar kala khutbah Jumat, dan saya pun lelah menyaksikan parade penampakan dari hantu-hantu genit (sekadar informasi, ada hantu Indonesia lho!) yang sebagian besar diantaranya meleset dari sasaran. Bisa jadi ini preferensi, tapi saya pribadi lebih menikmati dakwah yang disampaikan secara halus dan mempersilahkan para jemaat untuk berkontemplasi ketimbang dijelaskan sejelas-jelasnya dengan teriakan. 

Menurut saya, dakwah lebih bijak diutarakan dengan tutur kata halus yang menenangkan hati demikian daripada mengandalkan volume keras yang berkelanjutan. Di film pertama, saya mendapati dakwah yang meneduhkan hati dan bersifat universal. Tapi di film kedua ini justru sebaliknya dan kemungkinan besar hanya akan bisa dicerna oleh penonton Muslim. Mengapa jadi seperti ini? Saya paham materi Munafik 2 menuntut adanya karakter yang ngotot dengan pendirian kelirunya sehingga dia memilih untuk menutupi kekurangannya seraya menekan lawan bicaranya menggunakan nada tinggi. Hanya saja, apakah harus sepanjang waktu? Bahkan karakter di sektor protagonis pun tak kalah semangatnya dalam menyuarakan dialog. Terus berteriak sampai saya khawatir urat di leher mereka terputus trus muncrat darah. Yay! Saat saya menyatakan keberatan ini, beberapa penggemar berat Munafik 2 di dunia maya berujar, “itu karena kamu tak peduli dengan Islam,” “kamu tidak paham dengan pesannya,” dan “kamu sudah jauh dari Tuhan.” Saya jelas terperanjat. Bukan karena tersinggung, hanya semata-mata kaget ada orang asing melontarkan tuduhan tersebut. Kok bisa sih mereka berkesimpulan demikian hanya karena saya tak menyukai film ini? Apakah ada yang salah dengan mengharapkan penyampaian dakwah yang lebih tenang? Ini jelas terasa ironis karena jika mereka benar-benar menyukai film ini yang artinya memahami pesan yang disampaikan, tentu mereka tak akan sampai hati mengeluarkan tuduhan tak berdasar tersebut. Bukankah film favorit mereka sudah mengingatkan untuk tak melakukannya? Jadi sebenarnya siapa yang tidak paham dengan pesan dari film ini? 


Padahal menurut saya, Munafik 2 bukanlah film yang sepenuhnya buruk. Permainan lakon dari jajaran pemainnya masih layak diberi kredit terlebih naskah memang tak memungkinkan mereka untuk berbuat banyak dan beberapa terornya cukup bisa memberi rasa ngeri utamanya pada adegan pengusiran setan pertama beserta beberapa momen yang bermain-main dengan ekspektasi seperti saat Ibu Adam mengendap-endap di kegelapan. Hanya saja, dibandingkan jilid pertamanya yang saya akui lebih efektif dalam menyampaikan pesannya tanpa harus ditekankan terus menerus dengan intonasi meninggi, dan menggeber teror tanpa harus mencuat beberapa menit sekali, Munafik 2 tak seberapa menggigit. Yang dilakukannya di sini pun sebatas mendaur ulang apa yang berhasil di film pertama tanpa pernah memberinya sentuhan baru. Tak ada lagi kejutan dalam teror, tak ada lagi kejutan dalam penceritaan. Suntikan twist di ujung durasi yang diniatkan sebagai sentakan malah terasa menggelikan selaiknya babak klimaksnya itu sendiri. Tampaknya Syamsul Yusof mengadopsi kisah-kisah nabi yang konon menjadi sumber inspirasinya secara harfiah tanpa pernah menyesuaikannya dengan konteks waktu, tempat, dan karakter. Meski film terdahulu pun menghadirkan solusi yang sama menggampangkannya, tapi paling tidak kita diberi sebuah pengungkapan yang menyentuh. Itulah yang tak bisa dijumpai di Munafik 2, momen menyentuh. Hati dan kehangatan sukar ditemui dalam narasi. Syamsul Yusof berusaha terlalu keras untuk menciptakan kesan sekuel yang lebih besar dari pendahulunya sampai-sampai abai pada hal terpenting yang semestinya ada, yakni narasi yang kokoh. Tapi lagi-lagi, ini hanya menurut saya yang tak bisa bikin film dan tak lebih hebat dari remah-remah rengginang. Saya meyakini jutaan penonton yang sudah menyaksikan Munafik 2 di bioskop pasti memiliki pendapat yang bertolak belakang. Sepertinya saya belum mendapatkan hidayah sehingga saya pun tak bisa menikmati film semulia ini. Sedih.

Poor (2/5)