REVIEW : BAYWATCH


“She's the reason I believe in God.” 

Apabila kamu termasuk bagian dari generasi 80-an atau 90-an dan mengakrabi budaya populer pada masa itu, tentunya mengetahui serial televisi berjudul Baywatch dong? Berceloteh mengenai sejumlah penjaga pantai yang berjibaku dengan serentetan peristiwa di area kerja mereka, serial yang sempat mengudara di salah satu televisi nasional Indonesia (kalau tayang sekarang, bakal kena blur dimana-mana tuh sampai-sampai yang keliatan cuma kepala pemainnya doang) ini merengkuh popularitasnya bukan lantaran mempunyai plot berkualitas jempolan melainkan lebih disebabkan kemurahhatiannya dalam mengumbar keseksian pemain-pemainnya serta kemasannya yang norak-norak menyenangkan – tidak mencoba sok serius. Tontonan guilty pleasure gitu lah. Yang paling diingat dari serial ini pun sebatas adegan yang memperlihatkan Pamela Anderson berlari-lari di bibir pantai mengenakan bikini berwarna merah dalam gerakan lambat, sementara lainnya... yuk dadah bye bye. Menguap cepat dari ingatan. Tapi mungkin saja itu hanya saya karena Paramount Pictures nyatanya menganggap serial ini masih memiliki brand sekaligus basis penggemar cukup kuat. Mereka merasa perlu untuk membangkitkan Baywatch kembali dalam format film layar lebar bertajuk serupa dengan barisan pemain yang tentu saja dirombak habis-habisan menyesuaikan zaman dan merangkul genre komedi ketimbang sebatas berada di ranah drama aksi seperti materi sumbernya. 

Menggantikan David Hasselhoff untuk memerankan Mitch Buchannon dalam versi film adalah Dwayne Johnson. Bersama dengan Stephanie Holden (Ilfenesh Hadera), C.J. Parker (Kelly Rohrbach) dan rekan-rekannya dalam divisi elit penjaga pantai bernama Baywatch, Mitch bertugas untuk menjaga situasi di Emerald Bay, Florida, agar senantiasa kondusif sehingga para pengunjung yang menghabiskan liburannya di pantai tersebut tidak perlu mencemaskan apapun. Demi menambah personil Baywatch yang terus datang dan pergi seiring berjalannya waktu, Mitch beserta tim pun menggelar uji coba. Diikuti puluhan peserta, tiga anggota baru yang akhirnya terpilih di ujung hari antara lain Summer Quinn (Alexandra Daddario) yang cerdas, Ronnie (Jon Bass) yang bertekad baja, dan mantan atlet Olimpiade cabang renang yang karinya berakhir usai suatu insiden memalukan, Matt Brody (Zac Efron). Keterlibatan Matt dalam tim yang dilandasi keterpaksaan dan sikapnya yang cenderung semau gue memicu mencuatnya gesekan-gesekan diantara sesama anggota tim utamanya Mitch dan Summer. Namun konflik internal ini mau tak mau terpaksa dipinggirkan tatkala Mitch mengendus ada sesuatu yang tidak beres di Emerald Bay selepas menemukan bungkusan kecil berisi obat-obatan terlarang. Pengusutan demi pengusutan yang dilakukan Baywatch lantas menuntun mereka pada seorang pebisnis bernama Victoria Leeds (Priyanka Chopra) yang tengah berencana mengekspansi bisnisnya dengan cara kotor.


Menonton Baywatch di bioskop sudah barang tentu tidak mengharap apa-apa selain kesenangan yang adiktif. Sang sutradara, Seth Gordon (Horrible Bosses, Identity Thief), sanggup memenuhi itu setidaknya di separuh awal durasi. Lawakan-lawakannya yang dibaluri referensi ke budaya populer seperti saat Mitch memanggil Matt dengan nama-nama julukan (dari boyband sampai High School Musical!) atau olok-olok terhadap elemen-elemen absurd dari versi serial televisinya terhitung cukup ampuh dalam menggelitik saraf tawa. Levelnya sih memang sebatas bikin tertawa-tawa kecil saja tak sampai bikin tergelak-gelak hebat, tapi bagaimanapun juga tawa tetaplah tawa, bukan? Disamping suntikan humor pekat, hiburan yang diperoleh penonton di babak awal adalah gulali-gulali manis bagi mata. Atau dengan kata lain, pemandangan yang menjadi ciri khas dari Baywatch: perempuan bertubuh seksi dengan bikini ketat yang berlari-lari di pantai dalam gerakan amat lambat serta laki-laki dengan perut serata papan cucian yang hampir sepanjang waktu menanggalkan bajunya. Untuk sesaat, Baywatch sedikit banyak memenuhi ekspektasi dari para penontonnya sampai kemudian kita menyadari bahwa durasinya kelewat panjang untuk sebuah film yang konfliknya klise dan tidak lebih rumit dari satu episode serial televisi ini. Alhasil begitu memasuki pertengahan film, laju pengisahan Baywatch serasa diulur-ulur. 

Daya bunuh humornya pun ikut mengendor seiring terlampau sering dilontarkannya lawakan-lawakan ekstrim yang malah berakhir menjijikan ketimbang lucu. Mungkin hanya saya saja atau ada juga yang menganggap adegan Mitch meraba-raba selangkangan mayat laki-laki di kamar mayat itu mengundang rasa geli-geli mengusik kenyamanan? Kenyamanan dalam menonton Baywatch memang semakin menurun di paruh kedua terlebih kegaringan humornya mulai menandingi kulit ayam goreng kaepci dan rentetan laga yang muncul tak memberi impak apapun. Tak memberi sensasi harap-harap cemas atau sekadar bersemangat yang semestinya ada. Yang kemudian membuat Baywatch tetap mengapung alih-alih tenggelam hingga ke dasar samudera sampai bloopers di sela-sela credit title nongol adalah performa pemainnya. Maksud saya, performa Dwayne Johnson dan Priyanka Chopra – pemain lainnya seolah hanya dimanfaatkan sebagai tim hore, apalagi cameo dari Hasselhoff dan Anderson. Dwayne mempunyai karisma kuat sebagai jagoan yang mudah disukai dengan comic timing yang jitu pula sementara Priyanka memancarkan aura seduktif, intimidatif, dan berbahaya di saat bersamaan. Keberadaan mereka sangat membantu dalam menyalurkan energi positif ke film maka saat keduanya rehat sejenak untuk memberi kesempatan bagi tim hore beraksi, Baywatch ikut melemas. Untungnya Gordon menyadari hal tersebut sehingga potensi keduanya sebisa mungkin dimaksimalkan yang pada akhirnya membuat Baywatch masih dapat terhidang sebagai tontonan yang bisa dinikmati di kala (amat sangat) senggang.

Acceptable (2,5/5)