“Being a “Kingsman” is more than the clothing we wear or the weapons we bag. It’s about willing to sacrifice for the greater good.”
Ditengah kecenderungan film spionase bergerak ke arah yang lebih serius dengan nada penceritaan muram – bahkan belakangan seri James Bond tidak lagi mengutamakan bersenang-senang – Kingsman: The Secret Service yang dirilis pada tahun 2014 menawarkan sebuah alternatif menyegarkan bagi para pecinta film. Sang sutradara, Matthew Vaughn (Kick-Ass, X-Men: First Class), memperkenalkan kita kepada agen rahasia anyar yang sanggup memadukan tindak tanduk ugal-ugalan bak bocah ingusan yang tidak pernah mengenal sopan santun dengan elegansi ala bangsawan Inggris. Sebuah kombinasi unik yang lantas menghadapkan penonton kepada gelaran laga berbalut komedi yang penuh gaya, berwarna, dan tanpa tedeng aling-aling dalam menggeber kekerasan demi mencapai dua tujuan: kejutan dan kesenangan. Hidangan berbeda yang materinya bersumber dari komik bertajuk sama rekaan Dave Gibbons dan Mark Millar ini tanpa dinyana-nyana sanggup memperoleh resepsi memuaskan baik dari penonton maupun kritikus sehingga 20th Century Fox seketika memberi lampu hijau untuk pembuatan sekuel. Yang kemudian menjadi pertanyaan, mengingat instalmen pertama telah menetapkan standar cukup tinggi bagi film beraliran serupa, mungkinkah si sekuel dari Kingsman: The Secret Service yang diberi subjudul The Golden Circle ini berhasil melampauinya atau minimal berada di tataran yang sama?
Tewasnya Valentine (Samuel L. Jackson), musuh besar para agen Kingsman di The Secret Service, ternyata tidak lantas membuat kehidupan Eggsy Unwin (Taron Egerton) damai sentosa. Memang sih setelah melenyapkan si psikopat, Eggsy sempat untuk menjalani kehidupan normal dengan menjalin hubungan serius bersama perempuan yang diselamatkannya di jilid awal, Putri Tilde (Hanna Alström). Tapi itu tak berlangsung lama karena satu tahun selepas insiden film sebelumnya, Eggsy mesti menghadapi Charlie (Edward Holcroft), mantan trainee yang tak diterima oleh Kingsman, yang kini bekerja dibawah komando pemimpin kartel narkoba misterius, Poppy Adams (Julianne Moore). Tangan sibernetik Charlie mampu menyelinap ke dalam markas rahasia Kingsman dan menyadap data-data penting yang kemudian dimanfaatkan Poppy untuk melancarkan serangan dalam bentuk misil. Akibatnya, sejumlah lokasi luluh lantak yang turut menewaskan beberapa agen utama dan hanya menyisakan Eggsy beserta Merlin (Mark Strong). Mencoba mencari bantuan dengan mengikuti protokol ‘hari kiamat’, kedua agen tersebut lantas dituntun menuju organisasi elit rahasia lain yang bermarkas di Amerika Serikat bernama Statesman. Bekerjasama dengan para agen Statesman serta Harry Hart (Colin Firth), mentor Eggsy yang sempat diduga telah tewas, Eggsy berupaya menggagalkan rencana besar Poppy dalam melegalisasi penggunaan narkoba.
Mengikuti pola film kelanjutan, sudah barang tentu The Golden Circle meluaskan cakupan skalanya. Tengok saja jajaran pemainnya yang kian meriah melibatkan nama-nama besar dari Hollywood seperti Julianne Moore, lalu Halle Berry, Channing Tatum, dan Jeff Bridges sebagai personil Statesman. Vaughn ditemani Jane Goldman di sektor penulisan naskah pun berupaya meningkatkan kompleksitas dalam penceritaan dengan membentangkan universe dalam film, menghadirkan setumpuk karakter anyar sekaligus menyisipkan beragam subplot yang mau tak mau berkontribusi pada melarnya durasi hingga mencapi 141 menit (betul sekali, kamu tak salah baca!). Durasi yang kelewat panjang ini merupakan problematika utama yang menyergap The Golden Circle sehingga menghalanginya untuk tampil segegap gempita seperti sang predesesor. Selama satu jam pertama, laju pengisahan terkesan berlarut-larut hanya demi memperkenalkan penonton kepada Statesman yang berujung dengan reuni kejutan bersama Harry. Usai adegan pembuka seru yang menampilkan kejar-kejaran mobil di jalanan London dan lontaran misil, The Golden Circle bergerak melambat yang berdampak pada menyusutnya intensitas. Penonton disuguhi sederet konflik sampingan di sekitar Eggsy yang sejatinya bisa diperpadat bahkan dipangkas demi menghemat durasi. Rasa jenuh sempat menghampiri yang untungnya ditebus oleh rentetan laga mengasyikkan terhitung sedari Eggsy kembali turun ke lapangan.
Ya, berbicara soal kandungan hiburan dalam bentuk sekuens laga, The Golden Circle tidak kekurangan sedikitpun – walau agak disayangkan tidak dihadirkan secara non-stop. Level “wow”-nya memang agak dibawah film pertama yang memberi kita dua adegan sulit terlupakan, yakni pembantaian di gereja dan ‘kembang api’, namun tetap saja sulit untuk menolak saat tata laganya masih terbilang menggenjot adrenalin, bukan? Beberapa momen yang membuat diri ini bersemangat selama menyaksikan The Golden Circle di layar lebar disamping adegan pembuka antara lain kereta gantung di pegunungan salju yang terpontang-panting, konfrontasi akhir di Poppy Land atau markas utama Poppy yang desain bangunannya terinspirasi dari Amerika Serikat era 1950-an, hingga apapun yang melibatkan sang legenda musik Elton John yang memerankan versi fiktif dari dirinya sendiri yang gemar melontarkan sumpah serapah. Diluar dugaan, Elton John mampu menyumbang beberapa momen komedik terbaik di film yang sejatinya kadar kelucuannya turut mengempes. Yang juga menghadirkan performa mengesankan dari departemen akting dalam The Golden Circle adalah Taron Egerton (entah mengapa saya merasa dia terlihat ‘tua’ disini?), Colin Firth, Mark Strong, Pedro Pascal sebagai agen Statesman yang menyimpan agenda terselubung, serta Julianne Moore sebagai villain utama yang sinting tapi tetap tampak berkelas. Jika ada yang terasa sia-sia dalam The Golden Circle selain durasi kepanjangan, maka itu kehadiran trio Statesman: Channing Tatum, Jeff Bridges, dan Halle Berry, yang jatah tampilnya tak lebih banyak dari Elton John. Mungkinkah ini hanya sebagai perkenalan menuju peran lebih besar di jilid ketiga? Semoga saja. Karena jika tidak, sungguh amat mubazir.
Note : Coba tonton The Golden Circle dalam format 4DX. Sensasi menonton yang diberikannya sungguh luar biasa.
Note : Coba tonton The Golden Circle dalam format 4DX. Sensasi menonton yang diberikannya sungguh luar biasa.
Exceeds Expectations (3,5/5)