Apakah kamu pernah mendengar permainan asal Jepang yang disebut Hitori Kakurenbo? Pada dasarnya, permainan ini tak ubahnya petak umpet di Indonesia. Yang kemudian membedakannya adalah keterlibatan makhluk halus di dalamnya. Ya, teman mainmu tidak saja manusia, tetapi juga lelembut dari alam seberang yang memenuhi ajakan bermain usai dipanggil melalui sebuah ritual menggunakan medium boneka. Terdengar mengerikan? Tentu saja, bahkan bisa dikata berbahaya karena si makhluk halus sangat mungkin turut mengincar jiwamu. Salah satu korban dari permainan ini adalah seorang blogger bernama Sarah yang keberadaannya tak jelas rimbanya selepas mengunggah video yang menunjukkan dirinya iseng-iseng menjajal Hitori Kakurenbo. Kesahihan kabar ini memang masih dipertanyakan, namun satu yang jelas, dia telah menggemparkan dunia maya. Saking gemparnya, seorang penulis bernama pena @manhalfgod pun tergelitik untuk mengejawantahkannya ke dalam bentuk novel ratusan halaman bertajuk Petak Umpet Minako yang lantas diadaptasi menjadi film layar lebar berjudul sama oleh Billy Christian (Kampung Zombie, Rumah Malaikat).
Tokoh utama dalam Petak Umpet Minako bukan lagi Sarah, melainkan seorang pemuda bernama Baron (Miller Khan). Di suatu malam bersamaan dengan berlangsungnya reuni SMA yang enggan untuk dihadirinya, Baron menerima pesan singkat dari kekasihnya, Gaby (Wendy Wilson), yang mendesaknya datang ke acara reunian di gedung bekas sekolah mereka dulu. Meski ogah-ogahan, toh akhirnya Baron memutuskan mampir demi membahagiakan sang kekasih. Sesampainya di lokasi, betapa terkejutnya protagonis utama kita begitu mendapati bahwa acara reunian yang disangkanya akan dipenuhi gelak tawa justru berakhir petaka. Teman-temannya berlumuran darah, berlarian kesana kemari, bahkan beberapa diantaranya telah menjelma menjadi mayat hidup. Apa yang sesungguhnya terjadi di sini? Usut punya usut, ternyata sang biang kerok adalah Vindha (Regina Rengganis) yang mengajak teman-temannya bermain Hitori Kakurenbo tanpa pernah menyadari betapa besarnya resiko yang akan mereka hadapi. Arwah dalam boneka bernama Minako yang dipergunakan Vindha sebagai medium lantas menghisap habis jiwa manusia-manusia yang ikut bermain hingga membuat tubuh si boneka menyerupai manusia. Minako tak akan berhenti melakukannya sampai dia dinyatakan sebagai pemenang permainan.
Di atas kertas, Petak Umpet Minako memang terdengar seperti film horor yang menjanjikan. Saya sendiri menunjukkan ketertarikan cukup tinggi tatkala mengetahui bahwa film ini bakal didasarkan pada urban legend asal Jepang yakni permainan petak umpet yang melibatkan hantu. Yang kemudian semakin menggenjot keingintahuan, materi promosinya berupa poster dan trailer digarap tidak main-main (bisa dibilang posternya adalah salah satu yang terbaik tahun ini). Apa mungkin ini sebuah pertanda kalau ekspektasi mendapat tontonan seram bakal dipenuhi oleh Petak Umpet Minako? Ternyata oh ternyata, saya kelewat berbaik sangka, saudara-saudara sekalian. Melangkahkan kaki ke dalam bioskop dengan riang penuh semangat, tak disangka-sangka saya malah keluar bioskop dengan gontai sampai-sampai mesti dibopong mbak-mbak penyobek tiket jaringan bioskop angka romawi. Seolah-olah jiwa ini ikut diserap oleh Minako. Ya bagaimana tidak lemas, meski durasinya hanya 87 menit, Petak Umpet Minako terasa sangat lamaaaaaaaaaa sekali. Rasa-rasanya saya ingin melayangkan saran kepada pihak bioskop agar menyediakan fitur “penonton boleh mempercepat durasi film sesuai selera” sehingga saat menjumpai film serupa yang tidak ketulungan bertele-telenya, diri ini tidak perlu risau bakal jenuh, capek, maupun menyesal lantaran sudah membuang-buang banyak waktu.
Sulit untuk benar-benar bisa menikmati Petak Umpet Minako karena film menghadapi setumpuk permasalahan yang menyergap di hampir setiap departemen pembangunnya. Baik itu penyutradaraan, naskah, akting, penyuntingan, maupun musik. Premis mengikat yang dimilikinya seketika mentah hanya beberapa menit setelah film dimulai. Billy Christian terlalu bersemangat ingin mengajak penonton bersenang-senang sampai lupa menyisakan sedikit durasi untuk membentuk pondasi kisah sekaligus mengenalkan barisan tokohnya. Alhasil, sepanjang durasi pikiran terus berkecamuk dan mulut tak henti-hentinya nyeletuk, “kok bisa begini?” lalu “kok bisa begono?” kemudian “eh, itu siapa ya?” dan “lah, kok dia jadi begitu?”. Besarnya lubang menganga yang dibiarkan begitu saja oleh si pembuat film membuat jajaran pemainnya terjungkal masuk ke dalamnya. Mereka tampak kebingungan menginterpretasi peran masing-masing sehingga penonton pun semakin kebingungan memikirkan bagaimana caranya bersimpati kepada karakter yang mereka mainkan. Ini masih belum ditambah penyuntingan tak rapi hasil dari keputusan mengaplikasikan teknik bercerita maju mundur cantik yang malah menggugurkan ketertarikan mengikuti pergerakan kisah dan musik pengiring yang ampun berisiknya. Sungguh sangat disayangkan, padahal Petak Umpet Minako sejatinya punya potensi menjadi film horor memikat.
Poor (2/5)