“Hidup itu seperti kamera. Kamu harus fokus pada satu target.”
Andaikata kamu telah menelurkan beberapa karya dengan pokok penceritaan seragam namun terbukti diterima sangat baik oleh publik, apa yang akan kamu lakukan untuk karya berikutnya? Mengaplikasikan formula senada sampai pangsa pasarmu menanggapi dingin atau perlahan tapi pasti mencoba berinovasi demi menggaet pasar lebih luas yang berarti ada resiko besar mesti diambil? Bagi rumah produksi Screenplay Films yang telah memberi kita tontonan percintaan mendayu-dayu seperti Magic Hour, I Love You from 38.000 Feet, Promise, serta dwilogi London Love Story, jawabannya telah teramat jelas yakni pilihan pertama. Mereka seolah-olah berujar, “formula kita telah teruji berhasil untuk penonton usia belasan yang menjadi konsumen utama kita, jadi mengapa harus mengambil resiko dengan mengubahnya hanya untuk menyenangkan hati penonton-penonton sinis yang bisa jadi tidak akan menonton film kita?.” Tidak mengherankan jika rilisan terbaru mereka, One Fine Day, yang masih ditangani oleh tim inti serupa dengan rilisan terdahulu (setidaknya untuk kursi penyutradaraan dan penulisan naskah) tanpa ragu-ragu mengusung guliran penceritaan yang senada seirama. Kita kembali diterbangkan jauh-jauh ke negeri orang untuk menyaksikan kusutnya kisah percintaan muda-mudi berkantong tebal asal Indonesia.
Dalam One Fine Day, muda-mudi yang terlibat dalam problematika asmara yakni Mahesa (Jefri Nichol) dan Alana (Michelle Ziudith). Mahesa adalah pemuda dari Indonesia yang mencoba mengadu nasib sebagai musisi di Barcelona, Spanyol, bersama dua sahabat baiknya, Revan (Dimas Andrean) dan Dastan (Ibnu Jamil). Akan tetapi, nasib baik tak kunjung berpihak kepadanya seiring dengan teramat seringnya demo musik milik mereka mengalami penolakan. Demi menyambung hidup, Mahesa dan kawan-kawan pun terpaksa menipu perempuan-perempuan kaya. Salah satu target terbaru tiga serangkai ini adalah Alana yang dilihat pertama kali oleh Mahesa di sebuah restoran mewah. Mulanya mengira Alana tidak bakal berbeda jauh dengan para korban sebelumnya yang mudah untuk dibujuk rayu lalu ditinggal pergi, masalah lantas muncul tatkala Mahesa mendapati tiga fakta mengenai Alana. Pertama, Alana adalah perempuan Indonesia. Kedua, Alana telah memiliki kekasih bernama Danu (Maxime Bouttier) yang luar biasa posesif sampai-sampai menitahkan seorang bodyguard, Pak Abdi (Surya Saputra), untuk selalu mengawalnya kemanapun dia pergi. Dan ketiga, Alana telah membuatnya jatuh cinta, begitu pula sebaliknya. Rencana penipuan yang telah disusun dengan baik pun seketika berantakan terlebih Danu tentu tidak akan begitu saja membiarkan sang kekasih digaet oleh laki-laki lain.
Apabila kamu berpikir One Fine Day bakal memiliki jalinan pengisahan berbeda usai membaca sinopsis di atas, well… sayang sekali kamu keliru. Seperti yang sudah-sudah, struktur cerita One Fine Day hanyalah sebentuk daur ulang dari film-film rilisan Screenplay Films sebelumnya macam Magic Hour, London Love Story, serta Promise yang diberikan sedikit bubuhan disana sini agar membuatnya tampak segar. Dalam catatan saya, setidaknya ada tiga hal yang membuat film arahan Asep Kusdinar ini tampak berbeda: pemanfaatan kota Barcelona sebagai latar tempat dengan baik, lagu-lagu pengiring beraliran tropical seperti Vamos De Fiesta dan Te Amo Mi Amor yang cukup ampuh dalam mengajak penonton untuk menghentak-hentakan kaki mengikuti irama, serta Michelle Ziudith yang sekali ini terlihat sangat cantik sekali. Selain ketiga catatan tersebut, tidak ada pembaharuan signifikan yang bisa kamu jumpai dalam One Fine Day. Guliran konfliknya masih berkisar pada muda-mudi dari Indonesia yang hidup bergelimangan harta di negeri orang, lalu jatuh cinta dengan lawan jenis yang (kok bisa-bisanya) ternyata saudara sebangsa, kemudian datang orang ketiga (baik tunggal maupun jamak) yang merecoki hubungan mereka, dan akhirnya diselesaikan melalui klimaks yang mewajibkan Michelle Ziudith menangis sejadi-jadinya karena sang lelaki idaman berada di ambang garis kematian.
Agar membuat film terasa semakin romantis dan dramatis, maka rentetan dialog-dialog puitis yang biasanya berwujud analogi mesti disisipkan di berbagai titik sekalipun waktunya kurang tepat. Salah satu yang paling membekas dalam One Fine Day adalah “hidup itu seperti kamera. Kamu harus fokus pada satu target” yang cukup menerjemahkan guliran pengisahan film. Ini adalah salah satu kabar baik yang dibawa One Fine Day, si pembuat film tidak ngoyo untuk membuat filmnya terlihat cerdas dengan memberi banyak subplot tanpa esensi atau menghadirkan alur non-konvensional (mari kita ucapkan halo pada Promise, saudara-saudara!) yang malah berujung pada terpelintirnya otak penonton. One Fine Day dituturkan secara lugas dan jelas dengan pesan mengenai kejujuran dan memperjuangkan mimpi yang tersampaikan cukup baik. Kabar baik lainnya, barisan pemain menunjukkan lakon tidak mengecewakan khususnya Maxime Bouttier yang sanggup membuat sosok Danu si bocah kaya manja yang berbahaya tampak menjengkelkan, Surya Saputra sebagai bodyguard yang terombang ambing antara mengikuti perintah atasan atau hati nurani, serta Michelle Ziudith yang kentara makin terlatih dalam adegan tangis-tangisan (tolong, beri dia peran menantang. Dia aktris menjanjikan!).
Dengan formula cerita yang masih jalan di tempat, One Fine Day memang bakal kesulitan dalam menggaet penggemar baru yang sebelumnya tidak pernah bisa menerima film-film keluaran Screenplay Films yang cheesy-nya kebangetan itu. Akan tetapi, film ini akan sangat mudah untuk membuat pangsa pasarnya tersenyam-senyum bahagia menyaksikan duo Jefri Nichol-Michelle Ziudith bermesra-mesraan di sepanjang durasi diiringi alunan lagu tropical yang asyik buat goyang.
Acceptable (2,5/5)