Menyusun daftar film Indonesia terbaik 2017 ini menyadarkan saya pada satu hal. Ternyata, cukup banyak film Indonesia yang mempunyai kualitas diatas rata-rata dalam setahun terakhir. Jika biasanya saya menyusun senarai 15 besar bagi film nasional tanpa mengalami kesulitan berarti, maka sekali ini membutuhkan sedikit waktu tambahan untuk menyortirnya sampai akhirnya diputuskan mengekspansi daftar menjadi 20 besar (dari rencana semula hanya terhenti di 15 besar)… dan itupun mesti merelakan beberapa judul untuk ditendang. Yang membahagiakan, menggelembungnya kuantitas film-film Indonesia berkualitas di tahun 2017 turut dibarengi oleh makin beragamnya tema yang ditawarkan.
Beberapa sineas tampak sudah mulai berani menghadirkan tontonan beride segar seperti contohnya Night Bus yang mengusung genre thriller dengan latar area konflik (dan hampir sepanjang durasi berlangsung di dalam bis), Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak yang membicarakan isu jender di Indonesia Timur dengan pendekatan a la western movies, sampai Ziarah yang menawarkan road movie dengan gaya berbeda – menempatkan seorang nenek yang mencari cinta sejatinya sebagai poros utama kisah. Disamping peningkatan kualitas dan keberagaman tema, angka perolehan penonton untuk film Indonesia di tahun 2017 pun mengalami peningkatan.
Hingga tulisan ini diturunkan, tercatat setidaknya 10 judul film berhasil menembus angka 1 juta penonton – atau setara dengan pencapaian tahun lalu bahkan ada kemungkinan bertambah – dan total penonton yang berduyun-duyun memenuhi gedung bioskop guna menyaksikan film Indonesia rilisan 2017 telah mendekati angka 40 juta. Ini berarti, meningkat dari tahun lalu yang berhasil mengumpulkan 34,5 juta penonton. Sungguh luar biasa. Semoga saja pencapaian gemilang yang ditorehkan perfilman Indonesia pada tahun 2017 ini kembali berlanjut (kalau perlu, kian berkembang) di tahun-tahun berikutnya. Mari kita ucapkan “Amin!” bersama-sama, saudara-saudara.
Tanpa perlu berpanjang lebar lagi, inilah 20 film Indonesia terbaik yang dirilis sepanjang tahun 2017 versi Cinetariz, dengan terlebih dahulu menengok honorable mentions:
HONORABLE MENTIONS
# 5 Cowok Jagoan
# Mata Batin
# Moammar Emka's Jakarta Undercover
# Naura dan Genk Juara
# Si Juki the Movie
TOP 20
#20 Susah Sinyal
#19 Buka'an 8
#18 Chrisye
Memulai langkahnya dengan goyah, film biopik dari Chrisye yang mencuplik sepenggal perjalanan karir sang penyanyi legendaris ini setapak demi setapak terus membaik seiring berjalannya durasi. Vino G. Bastian bermain meyakinkan sebagai Chrisye, begitu pula Velove Vexia yang berlakon sebagai sang istri. Chemistry lekat keduanya membantu terciptanya momen emosional jelang tutup durasi utamanya kala Chrisye gelisah dalam menciptakan lagu “Ketika Tangan dan Kaki Berkata”. Sebuah biopik yang pantas bagi sang legenda musik tanah air.
#17 Salawaku
Melalui Salawaku, Pritagita Arianegara menggugat tindak seksisme yang merebak luas di sekitar kita akibat kuatnya pengaruh budaya patriarki dengan pendekatan santai. Ada setumpuk humor dilontarkan oleh barisan pelakonnya yang bermain apik dan pasokan gambar membelalakkan mata dari Faozan Rizal yang niscaya akan membuat jiwa petualangmu tergugah seketika untuk menjelajahi Pulau Seram saking mempesonanya pemandangan yang terhampar di layar bioskop.
#16 Filosofi Kopi 2: Ben & Jody
Filosofi Kopi 2: Ben & Jody menunjukkan urgensi dan kompleksitasnya sebagai sebuah film kelanjutan tanpa kehilangan sisi menghiburnya. Angga Dwimas Sasongko berhasil meyakinkan bahwa sekuel ini memang diperlukan. Seperti halnya film pertama, Filosofi Kopi 2: Ben & Jody pun bukan sebatas berbicara tentang nikmatnya menyesap kopi melainkan turut mengulik sekumpulan anak Adam yang mencoba berdamai dengan realita dan masa lalu pahit.
#15 Galih dan Ratna
Galih dan Ratna manis bukan disebabkan kedua insan manusia yang tengah dimabuk asmara hobi saling melempar gombalan satu sama lain tiada berkesudahan. Manisnya terbentuk dari situasi dan keyakinan penonton bahwa kedua karakter memang saling jatuh cinta – atau dengan kata lain, chemistry ciamik. Refal Hady dan Sheryl Sheinafia mempersembahkan duet maut layak dikenang. Refal menguarkan aura misterius mengundang keingintahuan akan sosoknya, sedangkan Sheryl membuat sosok Ratna yang sepintas lalu tampak tipikal gadis rumahan terasa memiliki kompleksitas.
#14 Night Bus
Perjalanan menaiki bis malam menyusuri area konflik jelas bukanlah suatu pengalaman yang menyenangkan. Akan tetapi dalam penanganan Emil Heradi, mimpi buruk para penumpang bis tersebut mampu disulap menjadi sebuah suguhan menegangkan yang mengikat atensi penonton. Elemen teknis Night Bus memang meninggalkan banyak catatan disana sini, namun kelancaran bercerita dan kemampuan menempatkan penonton dalam fase berdebar-debar membuat kekurangan tersebut dapat dimaafkan.
#13 Ziarah
Premis yang diusung Ziarah dapat dibilang tergolong unik; seorang perempuan berusia hampir satu abad melakukan perjalanan untuk mencari keberadaan makam sang suami dengan harapan dapat dimakamkan di sebelahnya. Sepanjang film, penonton ikut bertanya-tanya perihal keberadaan suami nenek selama ini. BW Purbanegara mengejawantahkan premis ini menjadi sebuah road movie bersahaja, memikat dan merobek hati yang turut menyinggung tentang kebenaran dibalik cerita sejarah kemerdekaan tanah air.
#12 My Generation
Apabila ada penghargaan untuk film Indonesia paling berani di tahun 2017, maka saya akan menobatkannya kepada My Generation. Bukan semata-mata soal tuturan kisahnya yang menyodorkan potret kehidupan empat remaja era serba gawai yang penuh dinamika, menjunjung kebebasan, dan kerap disalahpahami, tetapi juga karena keberaniannya memercayakan posisi pemeran utama kepada para pendatang baru. My Generation yang berhasil tampil enerjik dan menyenangkan ini memperkenalkan kita kepada Bryan Langelo, Lutesha, Alexandra Kosasie, dan Arya Vasco yang berpotensi besar memiliki masa depan cerah di perfilman Indonesia.
#11 Banda the Dark Forgotten Trail
Banda: The Dark Forgotten Trail berceloteh tentang bagaimana situasi Banda selepas diduduki Belanda, bagaimana nasib pala usai perdagangan bebas dihentikan, sampai bagaimana Banda di masa sekarang. Dengan bahan obrolan seberat dan sekompleks ini, nyatanya Banda: The Dark Forgotten Trail tak pernah sekalipun membuat penonton merasa kelelahan sampai terkantuk-kantuk. Justru, menimbulkan keingintahuan lebih besar untuk menelusuri kepingan-kepingan sejarah negeri ini. Mengikat dan memikat.
#10 Posesif
Edwin menawarkan alternatif bagi penonton yang jenuh dengan kisah percintaan remaja yang serba manis melalui Posesif. Dalam film ini, kita diajak melongok ke sisi kelam sebuah hubungan yang sejatinya jamak dijumpai di kalangan muda mudi. Mulanya sih, Posesif bertutur seperti film romantis pada umumnya kala bunga-bunga asmara diantara dua protagonis mulai bermekaran. Terasa manis. Namun film yang menghadirkan akting ciamik dari Adipati Dolken dan Putri Marino ini perlahan tapi pasti berganti haluan menjadi berdaya cekam tinggi yang seringkali membawa penonton ke dalam fase ‘harap harap cemas’ menyaksikan kisah kasih Lala dan Yudhis.
#9 Kartini
Di tangan seorang Hanung Bramantyo, Kartini menjelma sebagai sebuah film biopik yang menghibur, emosional, sekaligus mempunyai cita rasa megah. Hanung agaknya memahami, garis dramatik dalam kehidupan Kartini seringkali berada di posisi horizontal. Maka dari itu, si pembuat film secara cerdik menyelipkan cukup banyak kelakar sehingga membuat film terasa ringan untuk diikuti. Tidak semata-mata bergantung pada elemen komedik, imajinasi sang sutradara beserta visualisasi cantik hasil bidikan gambar dari Faozan Rizal yang berpadu mulus bersama kostum indah, iringan musik melodius, dan tata artistik ciamik turut membantu hadirkan ‘gelombang rasa’. Ciptakan pula sensasi megah.
#8 Bid’ah Cinta
Ketimbang semata-mata membawa penonton pada sajian roman religi mengharu biru yang sarat akan tangis menangis akibat jalan terjal yang harus dilalui protagonisnya dengan elemen religi ditempel sekenanya saja, Bid’ah Cinta justru sodorkan potret nyata, menyentil nan mengusik pikiran atas situasi bermasyarakat di tanah air dalam beberapa tahun belakangan yang kerap diwarnai perseteruan antar umat Islam dengan warna kelompok berlainan. Nurman Hakim tak bermaksud menyanjung kelompok tertentu lalu menyudutkan kelompok seberang karena film sejatinya hendak mempromosikan pesan mengenai toleransi yang agaknya mulai dilupakan oleh masyarakat Indonesia yang majemuk ini.
#7 Critical Eleven
Disamping mempunyai bangunan karakter memikat dan konflik mengikat, kekuatan Critical Eleven turut bersumber dari chemistry intim Reza Rahadian dan Adinia Wirasti yang menguarkan kesan kuat bahwa keduanya adalah suami istri betulan sehingga mudah bagi penonton untuk terjerat baik kepada Ale maupun Anya. Critical Eleven merupakan sebuah balada tentang cinta, duka, serta penerimaan yang dikemas dengan begitu manis, hangat, sekaligus emosional. Emosi penonton telah disentuh sedari awal dan momen-momen dramatik dalam film ini secara konstan memberikan guncangan kepada emosi penonton hingga jelang ‘pendaratan’.
#6 Dear Nathan
Ditemani skeptisisme kala melangkahkan kaki memasuki gedung bioskop demi menyaksikan Dear Nathan, sebuah tamparan hebat mendarat ke diri ini begitu lampu bioskop dinyalakan pertanda pertunjukkan telah usai. Rupanya, Dear Nathan bukanlah film percintaan penuh gombalan berlebihan seperti disangkakan dan malah justru sebaliknya. Ini adalah tontonan remaja yang tergarap dengan sangat baik dan mampu mendatangkan gelak tawa, mengundang rasa gregetan serta menghadirkan kehangatan secara organik. Dear Nathan tak saja membuat saya terkenang ke masa-masa SMA yang manis, tetapi juga merupakan kejutan terbesar di perfilman Indonesia pada tahun 2017.
#5 Turah
Turah mengantarkan penonton memasuki Kampung Tirang di Tegal yang merupakan miniatur Indonesia lengkap dengan segala intrik sosial politik yang melingkunginya. Terdapat penguasa bermulut manis, penjilat oportunis, pemalas bermulut besar, sampai wong cilik yang pasrah menerima keadaan. Sebuah potret kelam negeri ini yang digeber secara jujur, tak pretensius, menyentil, sekaligus memiliki daya pikat kuat oleh sutradara debutan Wicaksono Wisnu Legowo dan disokong performa sangat baik dari para pemainnya – kredit khusus bagi Slamet Ambari sebagai Jadag yang kehadirannya senantiasa membuat penonton gerah karena polahnya yang tak pernah berbanding lurus dengan mulut ceriwisnya.
#4 Istirahatlah Kata Kata
Dalam memvisualisasikan kisah pelarian Wiji Thukul, Yosep Anggi Noen memilih untuk lebih sering mengistirahatkan kata-kata dan membiarkan gambar-gambar puitisnya berbicara dengan sendirinya. Bukan kesunyian menenangkan, melainkan kesunyian menggelisahkan yang didalamnya sarat akan misteri. Dikomando oleh performa jempolan Gunawan Maryanto yang air muka dan gesturnya senantiasa menyiratkan rasa gusar, ketidaknyamanan pun mengusik penonton habis-habisan dalam beberapa titik. Pada akhirnya, tanpa harus banyak berkata-kata, hanya dalam kesunyiannya, Istirahatlah Kata Kata mampu pancarkan rasa cekam dan goreskan rasa pilu yang cukup dalam.
#3 Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak
Tidak ada tembak-tembakan seru dalam film yang dijuluki sebagai ‘satay western’ ini dan sebagai gantinya, terdapat seorang janda yang memenggal kepala seorang perampok dan membawanya berkelana menuju kantor polisi. Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak dimanfaatkan sebagai wadah bagi Mouly Surya untuk menyalurkan keresahannya terhadap budaya patriarki yang mengekang perempuan serta bobroknya sistem peradilan di Indonesia. Penyampaiannya ringan tanpa perlu membebani pikiran penonton namun tetap menohok sampai ke ulu hati. Bolehlah kiranya menyebut duo Marsha Timothy dan Dea Panendra sebagai perempuan paling badass di perfilman Indonesia tahun 2017 lalu.
#2 Pengabdi Setan
Jawaban dari tanya “apakah Pengabdi Setan versi Joko Anwar ini lebih ngeri atau tidak ketimbang pendahulunya?” memang akan sangat relatif, namun bagi saya secara pribadi, Pengabdi Setan versi 2017 ini mampu memberikan suatu mimpi buruk. Salah satu film horor Indonesia paling menyeramkan dalam beberapa tahun terakhir. Dalam perjalanan mengarungi wahana rumah berhantu ini, saya beberapa kali dibuat terperanjat dari kursi bioskop seperti pada adegan lempar selimut, ketok-ketok dinding di malam hari, mendengarkan drama radio, pipis di tengah malam, rekonstruksi adegan sholat yang ikonik itu, sampai tiap kali terdengar suara gemerincing lonceng Ibu. Gara-gara Pengabdi Setan, sosok Ibu tidak lagi terlihat sama.
#1 Sweet 20
Siapa bilang me-remake sebuah film itu perkara mudah? Susah sekali euy. Terbukti, jarang sekali ada remake yang berhasil apalagi jika materi sumbernya sudah terhitung bagus. Sweet 20 yang disadur dari film Korea bertajuk Miss Granny tergolong satu dari sedikit remake yang sukses. Pemain ansambel merupakan salah satu kekuatan utama yang dipunyai Sweet 20 disamping lontaran-lontaran kelakar dengan sentuhan kearifan lokal yang tepat mengenai sasaran, tembang-tembang lawas pengiring film macam “Layu Sebelum Berkembang”, “Payung Fantasi”, dan “Selayang Pandang”, serta muatan emosional yang bekerja secara efektif. Dengan kombinasi maut semacam ini, tepatlah kiranya menyebut Sweet 20 sebagai sebuah hiburan untuk seluruh keluarga kala liburan sekaligus remake yang sangat pantas bagi Miss Granny. Sungguh sebuah obat pelepas penat yang mujarab. Pecah dan meriah!