“Sometimes you think we’re in the normal world and then something happens and you realize we’re not.”
Menengok materi promosi yang beredar luas dan premis yang disodorkan, Downsizing memang tampak seperti tontonan fiksi ilmiah yang menjanjikan. Sulit untuk tidak tergoda begitu mengetahui bahwa film arahan Alexander Payne (The Descendants, Sideways) ini bakal berceloteh mengenai program penyusutan manusia hingga ke ukuran 5 inci saja yang bertujuan untuk menyelamatkan manusia dari kepunahan akibat kelebihan populasi di bumi – kurang lebih semacam versi upgrade dari Honey, I Shrunk the Kids! (1989). Terlebih lagi, Payne yang kembali berkolaborasi dengan Jim Taylor dalam penulisan naskah di Downsizing turut memboyong bintang-bintang besar untuk mengisi jajaran departemen akting seperti Matt Damon, Christoph Waltz, Kristen Wiig, Jason Sudeikis, sampai Udo Kier. Mudahnya, ini terlihat sangat bagus di atas kertas jadi apa sih yang mungkin salah? Usai menyaksikan gelaran yang merentang sepanjang 140 menit ini, saya bisa mengatakan bahwa setidaknya ada dua alasan yang lantas membuat Downsizing ternyata berjalan tidak sesuai harapan atau dengan kata lain, salah. Pertama, menanamkan ekspektasi yang keliru pada penonton, dan kedua, menyia-nyiakan premis bombastisnya demi mengejar pesan sederhana yang tidak juga mengena ke penonton.
Karakter utama dari Downsizing adalah seorang terapis okupasi bernama Paul Safranek (Matt Damon) yang memiliki kehidupan, well, biasa-biasa saja kalau tidak mau dibilang monoton. Satu-satunya hal yang bisa dikatakan menarik untuk diceritakan dari kehidupannya adalah dia dan istrinya, Audrey (Kristen Wiig), tengah mengalami kesulitan secara finansial. Demi memperbaiki kondisi keuangannya yang memburuk, Paul pun berinisiatif mengajak serta Audrey untuk mengikuti program penyusutan terlebih selepas mendengar pengalaman membahagiakan dari seorang kawan yang mengikuti program sejenis. Konon, ‘dunia liliput’ ini menjanjikan kehidupan yang serba berkecukupan lantaran segala hal bisa diperoleh dengan harga jauh lebih rendah. Mereka yang berani menyusutkan tubuhnya pun disebut sebagai pahlawan karena dianggap telah berpartisipasi dalam menyelamatkan lingkungan. Memperoleh iming-iming surga seperti ini, Paul jelas kepincut sehingga tidak membutuhkan waktu lama baginya untuk mempertimbangkan. Persoalan yang tadinya diharapkan pupus dengan mengikuti program ini, nyatanya justru semakin berlipat ganda tatkala Paul menyadari bahwa dunia liliput tidaklah seindah bayangannya. Sialnya, dia baru menyadari kekeliruannya dalam mengambil keputusan setelah tinggi tubuhnya menciut menjadi 5 inci saja.
Satu hal yang perlu diingat sebelum kamu melangkahkan kaki ke bioskop untuk menyaksikan Downsizing adalah film ini bukanlah tipe tontonan eskapisme yang memadukan fiksi ilmiah dengan elemen petualangan. Bukan. Divisualisasikan oleh Alexander Payne yang terbiasa berjibaku dengan tema seputar mempertanyakan eksistensi diri dalam balutan komedi gelap yang dilengkapi sentilan sentilun ke masyarakat modern, sudah bisa diduga sebetulnya bahwa Downsizing memang tidak ditujukan sebagai sajian hiburan pelepas penat. Apabila kamu berekspektasi demikian – yang sebetulnya tidak salah juga jika (lagi-lagi) berpatokan pada materi promo beserta premis – maka segera hempaskan jauh-jauh. Downsizing lebih tertarik untuk mengajak penonton membicarakan isu-isu serius nan menggelitik pemikiran terkait lingkungan, perubahan iklim, konsumerisme, imigran gelap sampai ketimpangan sosial. Ini menarik, malah sejujurnya sangat menarik bagi saya, akan tetapi entah mengapa begitu film mencapai separuh perjalanan, Payne enggan menguliknya lebih jauh lagi dan mendadak membicarakan tentang tema kegemarannya: eksistensialisme di usia paruh baya. Tidak hanya berhenti mengobrol perihal topik yang lebih menggugah, si pembuat film pun berhenti mengeksplor dunia liliput dan mengembangkan premis brilian yang diajukannya sehingga terasa tidak ada bedanya apabila latar film diubah menjadi, katakanlah, suatu koloni di sekitar kita yang menawarkan fasilitas menggiurkan.
Perubahan nada penceritaan ini terasa sangat disayangkan karena sejatinya separuh awal durasi Downsizing yang mengajak penonton untuk memahami prosedur penyusutan lalu berlanjut menyusuri dunia liliput (world building-nya juara banget!) sudah begitu mengasyikkan sementara separuh akhir durasi yang memilih untuk membicarakan tentang pencarian makna hidup sang karakter utama berlangsung bertele-tele dan tidak jarang menjemukan. Salah satu penyebabnya adalah sosok Paul yang kelewat lempeng serta tidak memiliki dinamika sampai-sampai menimbulkan resistensi pada diri ini untuk mengenalnya lebih dalam. Yang kemudian membuat saya tetap bertahan sampai menit penutup – walau mata berulang kali terasa begitu berat saking lelahnya – adalah jajaran pemain pendukung yang berlakon di level memesona seperti Hong Chau sebagai imigran asal Vietnam yang penyusutan tubuhnya merupakan hukuman dari pemerintah negaranya, Christoph Waltz sebagai tetangga Paul yang gemar berpesta, serta Udo Kier sebagai rekan Waltz yang juga gila pesta. Matt Damon sebetulnya juga menampilkan performa apik sebagai Paul, namun kehadiran Hong Chau yang begitu hidup nan kocak di sampingnya seketika mencuri lampu sorot darinya. Tanpa celetukan serta tingkah polah semau-mau gue Hong Chau yang menghibur, mungkin paruh akhir Downsizing yang terasa seperti film berbeda ini hanya akan membuat para penontonnya terlelap.