“Apa yang bisa Mama lakukan supaya Adek betul-betul percaya bahwa ini benar-benar Mama? Mama asli.”
Pada tahun 2012 silam, Ifa Isfansyah (Sang Penari, Garuda di Dadaku) memperkenalkan film terbarunya bertajuk Rumah dan Musim Hujan di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Dalam film yang merekrut nama-nama besar seperti Vino G. Bastian, Tora Sudiro, Landung Simatupang, Jajang C. Noer, serta Tara Basro – kala itu masih terhitung pendatang baru – tersebut, Ifa mencoba sedikit bereksperimen dengan memecah jalinan kisah ke dalam tiga segmen yang masing-masing mewakili suatu genre seperti komedi, drama, dan horor. Disamping JAFF, Rumah dan Musim Hujan turut berkelana pula ke berbagai festival film bertaraf internasional tanpa pernah diketahui secara pasti apakah film produksi Fourcolours Films ini akan menyambangi bioskop komersil tanah air. Tidak lagi terdengar kabarnya selama bertahun-tahun – sampai saya mengasumsikan, film ini mungkin sebatas dipertontonkan khusus untuk festival film – tiba-tiba tersiar kabar yang menyatakan Rumah dan Musim Hujan siap dirilis di tahun 2018. Berbagai perombakan pun dilakukan demi membuatnya terlihat baru seperti mengubah desain poster, judul yang beralih menjadi Hoax (Siapa yang Bohong?), sampai menyunting ulang film sehingga memiliki susunan cerita yang lebih bisa diterima oleh kebanyakan penonton arus utama.
Hoax membawa kita mengunjungi rumah Bapak (Landung Simatupang) pada suatu hari di bulan Ramadhan yang jatuhnya bertepatan dengan musim penghujan. Ketiga anak Bapak, yakni Raga (Tora Sudiro), Ragil (Vino G. Bastian), dan Adek (Tara Basro), yang tidak lagi hidup di bawah satu atap yang sama diundang oleh Bapak untuk berbuka puasa bersama. Satu tamu lain yang turut memenuhi undangan adalah Sukma (Aulia Sarah), kekasih baru Raga. Selepas menyantap makanan, lalu bermain bersama di meja makan, tiga anak Bapak ini lantas berpisah jalan. Dimulai dari titik inilah, jalinan pengisahan dalam Hoax bercabang menjadi tiga yang masing-masing menyoroti permasalahan tiap karakter dan tidak memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya. Pada segmen Raga, persoalan yang dihadapi adalah kehamilan yang tidak diharapkan. Baik Raga maupun Sukma mencurigai adanya kemungkinan Sukma telah hamil setelah mereka melakukan kesalahan dalam berhubungan badan. Pada segmen Ragil, sang karakter mengalami dilema untuk menyampaikan kebenaran dibalik hubungan yang tengah dijalaninya kepada Bapak yang ingatannya telah menurun drastis. Sedangkan pada segmen Adek, unsur mistis mengambil alih tatkala Adek kesulitan untuk membuktikan bahwa Ibu (Jajang C. Noer) yang diajaknya mengobrol di rumah memang benar-benar ibunya alih-alih makhluk gaib yang menyerupai sang ibu.
Dalam Hoax, ketiga segmen berbeda warna ini – Raga lebih ke komedi, Ragil berada di drama, sementara Adek cenderung ke horor – tidak disampaikan secara bergiliran melainkan saling bersahut-sahutan. Dalam artian, ketiganya berjalan beriringan. Kita menyaksikan apa yang terjadi pada Raga, Ragil, maupun Adek di waktu bersamaan. Keputusan untuk menghadirkannya dalam susunan kisah semacam ini jelas membawa keuntungan sekaligus kerugian tersendiri. Bisa dibilang menguntungkan karena kebenaran dibalik setiap kisah bakal terungkap bersamaan di penghujung durasi yang secara otomatis mendatangkan ketertarikan bagi penonton untuk mengikuti film hingga menit terakhir. Terlebih lagi, setiap segmen yang masing-masing mengapungkan topik pembicaraan cukup sensitif di dewasa ini terkait perbedaan keyakinan dalam hubungan, kepercayaan terhadap agama leluhur, hamil diluar ikatan pernikahan, pemerkosaan, sampai hubungan sesama jenis, mampu disajikan oleh Ifa Isfansyah dalam guliran pengisahan yang mengikat atensi. Tagline yang diusung oleh Hoax pun menjadi terasa masuk akal, begitu pula dengan judulnya, karena saya berulang kali tergugah untuk melontarkan pertanyaan “siapa yang berbohong?” di setiap segmen, khususnya yang melibatkan Raga dan Adek. Kedua segmen ini merupakan kekuatan utama dari Hoax sementara segmen Ragil terasa kurang tergali.
Dari sini kita sampai pada sisi merugikan dari menyusun tiga kisah berbeda tanpa benang merah dengan alur paralel. Yang paling kentara adalah adanya emosi yang terputus apalagi ketiga segmen ini mempunyai warna berbeda satu sama lain. Menjadi terasa ganjil saat kita sedang menyaksikan satu dua karakter tengah terisak-isak lalu sedetik kemudian menyaksikan satu karakter tengah merasa terteror, begitu juga sebaliknya. Penyuntingan semacam ini juga menyebabkan salah satu segmen terpaksa dikorbankan – dalam hal ini milik Ragil – yang penyampaiannya terkesan sepotong-sepotong sehingga saat kebenarannya terungkap, tidak ada impak pada emosi. Apakah keputusan ini dilandasi oleh isu sensitif yang dihembuskannya? Bisa jadi demikian. Pun begitu, mengesampingkan emosi yang ada kalanya tidak tersampaikan dengan baik plus bagaimana pencahayaan di sejumlah momen terasa kurang memadai (guelap euy!), Hoax masih bisa dikategorikan ke dalam tontonan yang apik.
Setidaknya tuturan masih mengikat, iringan musiknya asyik, dan jajaran pemain yang meliputi Landung Simatupang, Vino G. Bastian, Tora Sudiro, Aulia Sarah, Tara Basro, sampai Jajang C. Noer mampu menampilkan performa diatas rata-rata. Yang paling membekas tentu saja penampilan Jajang C. Noer sebagai Ibu yang misterius. Intonasi dan tatapannya itu lhoooo… menyeramkan. Kalau bukan karena peristiwa traumatis yang baru saja dialaminya dan banjir di sekitar rumah, mungkin Adek sudah tunggang langgang meninggalkan rumah setelah mendengar ajakan Sholat Tarawih bersama dari sang ibu yang bikin bulu kuduk meremang.
Exceeds Expectations (3,5/5)