REVIEW : LONDON LOVE STORY 3


“Cinta sejati tidak punya sebuah akhir. Aku mohon sama kamu, jangan menyerah.” 

Mungkin tidak sedikit dari kalian yang bertanya-tanya, kok bisa sih intrik dalam kisah cinta Caramel (Michelle Ziudith) dengan Dave (Dimas Anggara) yang tidak rumit-rumit amat ini membutuhkan sampai tiga jilid London Love Story untuk diselesaikan? Jawabannya sebetulnya sederhana saja – dan saya cukup yakin, kalian pasti telah mengetahuinya – yakni produk diterima dengan baik oleh publik. Instalmen pertama London Love Story menandai untuk pertama kalinya film produksi Screenplay Films mampu mencapai 1 juta penonton, sementara seri keduanya sekalipun mengalami penurunan tetap dapat dikategorikan laris manis. Menilik pencapaian ini, tentu tidak mengherankan jika kemudian drama percintaan yang mendayu-dayu ini diekspansi ke dalam tiga seri sampai-sampai judulnya tidak lagi relevan dengan latar penceritaan. Ya, London hanya muncul sekitar 15 menit di seri kedua yang sebagian besar memanfaatkan panorama Swiss sebagai jualan utama dan hanya sekejap saja di seri ketiga yang memboyong latar kisah ke Bali sehingga lebih tepat rasanya jika London Love Story 3 beralih judul menjadi Bali Love Story

London Love Story 3 membuka kisahnya dengan adegan wisuda Caramel (saya baru nyadar ternyata selama ini dia kuliah lho, Guys!) yang dilanjut acara lamaran. Jangan bayangin lamaran yang dihadiri sanak saudara ya karena di sini lamarannya berlangsung di atas kapal pesiar yang mengarungi Sungai Thames. Usai dilamar oleh Dave, Cara pun memutuskan untuk pulang kampung ke Indonesia – bersama dengan calon suaminya yang tajir melintir itu, tentu saja. Mereka berencana untuk melangsungkan pernikahan di Pulau Dewata, tempat dimana mereka bertemu untuk pertama kalinya. Tidak lama setelah mengutarakan niat ini kepada orang tua Cara, dua sejoli ini pun bertolak ke Bali dengan maksud mengenang momen-momen perjumpaan mereka seraya (mungkin) mencari lokasi pernikahan yang cocok di hati. Berselancar, jalan-jalan di pantai, dan berkeliling dengan mobil mevvah adalah hal pertama yang keduanya lakukan sesampainya di Bali. Sayangnya belum juga puas bernostalgia, mereka diusik oleh kehadiran Rio (Derby Romero) yang membawa pesan dari masa lalu. Tidak hanya sosok Rio yang membuat liburan Cara dan Dave kurang khidmat, tetapi juga sebuah kecelakaan mobil yang menyebabkan kaki Cara terancam lumpuh untuk selamanya.


Sejujurnya, saya cukup menikmati London Love Story 2. Dibandingkan film pembukanya yang cenderung “suka-suka gue” dalam bertutur, jilid ini lebih bisa ditolerir dengan konflik dan barisan karakter yang (sedikit) lebih bisa diterima oleh nalar. Bahkan, muncul rasa pedih tatkala sosok Gilang (Rizky Nazar) – yang sejatinya lebih menarik disimak ketimbang Dave dan Cara – ‘dibunuh’ oleh si pembuat film demi memberi keleluasaan bagi dua sejoli utama untuk melanjutkan hubungan mereka. Mengetahui ada perbaikan pada seri kedua, maka jelas bohong jika saya mengatakan tidak optimis terhadap babak pamungkas London Love Story. Saya optimis sekali. Siapa tahu kisah percintaan Cara-Dave bisa berakhir segreget Cinta-Rangga, yekannnn? Ya siapa tahu. Untungnya saya tidak pernah mengutarakan angan-angan (berlebihan) ini kepada siapapun karena jika melihat hasil akhir London Love Story 3, saya yakin beberapa kawan akan mengatakan, “loe halu banget, sumpah!.” Berharap lebih terhadap film percintaan remaja buatan Screenplay Films jelas bukanlah pilihan. Malah diri ini juga sangat menyesal telah berbaik sangka kepada London Love Story 3 karena alih-alih menghadirkan penutup layak yang membuat kita terkenang pada kisah asmara Cara-Dave, seri ini justru lebih menyerupai dagelan yang bertujuan untuk menertawakan kisah cinta mereka berdua. 

Paham sekali alasan dibalik keputusan produser untuk merentangkan London Love Story hingga ke seri ketiga. Hanya saja, sulit disangkal bahwa kisah kasih Cara-Dave yang secethek sungai di musim kemarau ini jelas tidak memungkinkan untuk dikembangkan lebih jauh lagi. Alhasil, konfliknya pun berputar-putar disitu-situ saja dengan berbagai kekonyolan yang mengikutinya. Selama tiga seri, karakter-karakter inti yang terlibat dalam cinta segitiga Cara-Dave-Gilang mengalami kecelakaan. Ada yang koma, ada yang lumpuh, ada pula yang meninggal. Apakah mereka terkena kutukan? Bisa jadi. Yang jelas, si pembuat film menganggap satu-satunya cara membuat penonton termehek-mehek adalah memberi musibah kepada karakter kesayangan mereka ini. London Love Story 3 terasa semakin menjadi-jadi kekonyolannya berkat rengekan Cara mengenai kaki lumpuhnya yang tak berkesudahan (sampai-sampai muncul keinginan buat berteriak, "Mbak, Istighfar, Mbak!" lalu melakban mulutnya) dan penyelesaian yang membuat saya menyadari bahwa ‘keajaiban’ beserta ‘kebetulan’ adalah kata kunci yang dijunjung tinggi oleh franchise ini. Andai saja konklusi pada Ayat-Ayat Cinta 2 tempo hari tidak memelintir logika sedemikian rupa, mungkin saya sudah memberikan standing ovation heboh untuk penyelesaian masalah yang ditawarkan oleh London Love Story 3. Film ini membuktikan bahwa keajaiban cinta sejati itu memang nyata adanya.

Poor (2/5)