REVIEW : JELITA SEJUBA


“Ternyata berat menjadi seorang istri. Apalagi menjadi istri seorang tentara.” 

Kehidupan perwira dengan segala suka dukanya, termasuk saat menjalin asmara, sejatinya bukan bahan kupasan baru dalam film Indonesia. Setidaknya dalam beberapa tahun terakhir, kita bisa menengoknya melalui Merah Putih (2009), Doea Tanda Cinta (2015), serta I Leave My Heart in Lebanon (2016). Hanya saja, mengingat film-film tersebut mengambil sudut pandang penceritaan dari perwira, tak ayal ada satu yang absen dan tidak pernah tergali mendalam. Kehidupan para perempuan yang mendampingi mereka. Para perempuan memang memiliki peranan di film-film ini, tapi sebatas sebagai karakter sekunder dengan karakteristik satu dimensi yang tugasnya hanyalah memotivasi si karakter utama. Tidak pernah lebih dari itu. Padahal ada satu pertanyaan menarik yang sempat beberapa kali terbersit di benak, “bagaimana cara perempuan-perempuan ini menjalani hari demi hari yang dipenuhi dengan penantian tanpa kepastian?.” Ray Nayoan yang sebelumnya lebih aktif di pembuatan film pendek, agaknya menyadari posisi mereka yang cenderung terpinggirkan dalam film Indonesia. Melalui film panjang pertamanya bertajuk Jelita Sejuba yang mengambil latar di Natuna, Kepulauan Riau, Ray bercerita mempergunakan perspektif seorang istri perwira. 

Istri perwira yang dimaksud dalam Jelita Sejuba adalah Sharifah (Putri Marino). Putri sulung dari seorang nelayan (Yayu Unru) dan pemilik warung (Nena Rosier) ini menjalankan bisnis warung makan kecil-kecilan bersama dengan kawan-kawan baiknya yang dinamai Jelita Sejuba. Di warung makan inilah Sharifah berjumpa untuk pertama kalinya dengan Kapten Jaka (Wafda Saifan Lubis) yang sedang ditugaskan oleh batalionnya di Natuna. Telah ada saling pandang dan saling lirik diantara keduanya, tapi belum muncul keberanian untuk mengutarakan isi hati. Apakah ini sebatas kekaguman atau memang ada rasa bernama cinta? Selepas pertemuan pertama tersebut, Jaka dan Sharifah kembali bertemu – baik sengaja maupun tidak – beberapa kali yang sedikit demi sedikit menebalkan rasa diantara mereka. Belum sempat mereka saling menyatakan rasa, Jaka dipindah tugas ke tempat lain. Dalam penantian tersebut, Sharifah mulai menyadari bahwa cintanya memang hanya untuk Jaka. Maka begitu Jaka menjejakkan kaki lagi di Natuna dan mengajaknya untuk menikah, senyum bahagia mengembang di bibirnya. Yang tidak disadari oleh Sharifah kala itu, bukan perkara mudah menjadi istri seorang tentara. Sharifah kerap mengalami fase ditinggal pergi sang suami untuk bertugas selama berbulan-bulan lamanya tanpa pernah ada kepastian kapan dia bisa kembali ke rumah. Tanpa pernah ada kepastian apakah dia bisa kembali ke rumah dengan selamat atau tidak.


Berpatokan pada sinopsis di atas, mudah untuk menyebut Jelita Sejuba memiliki plot yang amat generik. Ya mau bagaimana, pola penceritaannya masih tidak jauh-jauh dari pertemuan seorang perwira yang kaku dengan seorang perempuan desa yang lugu, lalu benih-benih asmara menyeruak hadir ditengah-tengah keduanya, dan mereka pun memutuskan untuk menikah. Jika ini ditangani secara serampangan, kemungkinan besar film akan berakhir sebagai melodrama murahan yang lebih cocok disimak di layar beling. Tapi sensitivitas Ray Nayoan dalam mengarahkan ditunjang oleh skrip renyah garapan Jujur Prananto, elemen-elemen teknis seperti skoring musik beserta sinematografi yang baik sekali, dan performa mengesankan dari jajaran pelakonnya, sanggup membuat Jelita Sejuba berada di kelas yang berbeda. Bahasa kerennya sih, classy. Pilihan Ray untuk melantunkan Jelita Sejuba dengan nada penceritaan cenderung ringan nan jenaka alih-alih penuh ratapan sekalipun Sharifah kerap berjuang seorang diri dalam mengurus rumah tangga terbilang tepat guna. Bahkan, dia mengaplikasikan cara penuturan yang bergaya sekaligus unik (paling menonjol dalam adegan Sharifah-Jaka mengajukan berkas untuk pernikahan. Serius, ini ketje!) sehingga masa-masa berseminya cinta antara dua karakter utama yang sejatinya minim letupan konflik terasa sangat nyaman buat diikuti. Penonton berulang kali dibuat tergelak-gelak oleh tingkah polah para karakter di film, dan sempat pula dibuat menyerukan ‘awww’ berjamaah ketika Jelita Sejuba mencapai titik termanisnya: Jaka melamar Sharifah menggunakan teropong. 

Ini tidak mungkin bisa dicapai apabila penonton sedari awal mengalami kesulitan untuk menginvestasikan emosi kepada film. Naskah ramuan Jujur Prananto memungkinkan kita untuk terhubung pada Sharifah-Jaka. Dia memberi latar belakang mencukupi untuk Sharifah dan Jaka, merepresentasikan mereka sebagai karakter yang mudah kita jumpai di kehidupan sehari-hari, dan menghadirkan dialog-dialog yang mengalir secara natural. Selain itu, performa mengesankan dari Putri Marino beserta Wafda Saifan Lubis pun membantu. Wafda adalah sesosok pria bentukan militer yang kaku, sementara Putri adalah perempuan desa yang polos. Tampak cerah ceria di paruh pertama, Putri berubah menjadi sosok yang lebih kalem di paruh selanjutnya tatkala beban hidupnya menggelembung. Kita bisa mendeteksi adanya tekanan karena kesepian, ketidakpastian, serta himpitan ekonomi. Melalui atraksi akting yang diperagakannya dalam Jelita Sejuba, kita bisa pula merasakan perkembangan akting Putri yang cukup signifikan terlebih nyawa film bergantung penuh kepadanya (dia berhasil, film berhasil. Dia gagal, film gagal). Beruntung, Putri mempunyai rekanan akting yang tidak kalah mengesankannya seperti Wafda, Yayu Unru, Nena Rosier, sampai Aldy Maldini sebagai adiknya yang bengal sehingga amat membantunya menghidupkan sosok Sharifah. Alhasil, selama menonton Jelita Sejuba kita pun ikut tertawa, tersipu, sekaligus terharu.

Exceeds Expectations (3,5/5)