REVIEW : HOTEL TRANSYLVANIA 3: A MONSTER VACATION


“Family is everything. You have to honor the past, but we make our own future.” 

Selama satu abad terakhir, Count Dracula atau Drac (disuarakan oleh Adam Sandler) telah melewati beragam fase kehidupan yang menyita emosi. Dia disalahpahami oleh manusia-manusia yang dibutakan oleh hasutan, kehilangan istri tercinta karena amarah manusia, mengasingkan diri ke pelosok Romania demi mencari ketenangan, membesarkan putrinya seorang diri, mengurusi segala tetek bengek hotel yang memfasilitasi para monster dari berbagai belahan dunia (sayangnya tak kulihat Jeung Kunti atau Pocong), merelakan putri semata wayangnya dinikahi manusia, kelabakan tatkala mendapati cucunya yang berdarah campuran mungkin saja tak mewarisi gen vampir, was-was putrinya bakal meninggalkannya untuk tinggal di California, menghadapi sang ayah yang tak dijumpainya selama puluhan tahun, sampai kesepian mendamba cinta. Bisa dikatakan, beban hidupnya sangat sangatlah berat dan dia jelas butuh bernafas untuk sesaat. Butuh liburan lah! Syukurlah, Genndy Tartakovsky yang menggarap cap dagang Hotel Transylvania sedari jilid pertama menyadari penuh mengenai hal tersebut. Maka dari itu, melalui instalmen teranyar bertajuk Hotel Transylvania 3: A Monster Vacation, dia menyeret Drac keluar dari pertapaannya untuk mempersilahkannya memiliki quality time bersama keluarga dan sahabat-sahabatnya di dunia luar yang sudah sangat lama tidak ditengoknya. 

Gagasan si pembuat film untuk mengajak Drac berlibur diwakilkan oleh Mavis (Selena Gomez), putri kesayangan Drac, yang merasa hubungan antara dirinya dengan sang ayah agak merenggang karena kesibukan masing-masing yang menyebabkan intensitas keduanya dalam berkomunikasi mengalami penurunan. Mavis yang ingin menghabiskan waktu bersama ayahnya di luar hotel turut mengundang rombongan lenong yang terdiri dari Johnny sang suami (Andy Samberg), Dennis sang anak (Asher Blinkoff), Frankenstein (Kevin James), Griffin si manusia tembus pandang (David Spade), Wayne si manusia serigala (Steve Buscemi), Murray si mumi (Keegan-Michael Key), Vlad sang kakek (Mel Brooks), serta keluarga dari sahabat-sahabat monster Drac. Drac mulanya enggan meninggalkan hotel, tapi bujuk rayu Mavis nyatanya mempan sehingga ‘Raja Kegelapan yang berubah menjadi Raja Pelayanan Kamar’ ini bersedia diajak pelesiran dengan menaiki kapal pesiar. Pun begitu, rasa berat hati masih menyertai Drac selama masa-masa awal liburan sampai kemudian dia bertemu dengan kapten kapal, Ericka (Kathryn Hahn), yang membuatnya merasakan zing – istilah monster untuk jatuh cinta luar biasa – untuk kali kedua. Jatuh cinta pada Ericka seketika membutakan Drac yang rela melakukan apa saja demi pujaan hatinya tersebut sampai-sampai dia tidak menyadari bahwa Ericka ternyata memiliki niat terselubung dibalik kedekatannya dengan Drac.


Pada dasarnya, A Monster Vacation masih mengantongi keunggulan sejenis dengan dua instalmen terdahulunya. Dari sisi tampilan visual, sulit untuk menyangkal bahwa A Monster Vacation terbilang mengesankan. Ada cita rasa meriah dan penuh warna yang bisa dicecap utamanya begitu guliran penceritaan film menapaki perjalanan di kapal pesiar yang berlangsung liar. Genndy Tartakovsky yang terlihat seperti menemukan mainan baru untuk diutak-atik, memberikan kita desain karakter beserta lokasi yang cukup membuat diri ini beberapa kali mengangguk-angguk kagum sekalipun caranya memvisualisasikan Atlantis yang semestinya merupakan gong terbesar dalam film ternyata tidak sesuai dengan pengharapan. Terlalu biasa untuk ukuran sebuah area misterius nan fenomenal yang masih terus diperbincangkan oleh beragam pihak hingga kini. Sungguh disayangkan. Yang juga meleset dari antisipasi kala saya memutuskan untuk meluangkan waktu demi mencari hiburan dalam wujud A Monster Vacation di bioskop adalah narasi yang dikedepankan beserta guyonan yang dilontarkannya. Pilihan si pembuat film untuk memberi porsi lebih kepada Drac dengan mengangkat kehidupan asmaranya bersama Ericka justru berdampak pada berkurangnya sisi greget maupun fun dari film. Saya kurang cocok menyaksikan Drac melembut (sudah kedarung terbiasa melihatnya berwatak keras kepala dan sok galak), lalu karakteristik Ericka pun kurang menggairahkan lebih-lebih latar belakangnya telah terbaca sedari awal. 

Lebih menyedihkannya lagi – setidaknya bagi saya, jatah tampil dari beberapa karakter favorit seperti Johnny, Frankenstein, Wayne, serta Murray, nyaris tergerus habis. Oke kita masih berkesempatan menengok kenakalan Dennis yang menggemaskan, memperoleh subplot mengenai Wayne yang akhirnya terbebas dari tanggung jawab mengurus ratusan anaknya yang nakal, atau pertengkaran Frankenstein dengan sang istri (Fran Drescher) akibat perjudian, tetapi Murray yang unyu-unyu tak memiliki kontribusi berarti pada pergerakan kisah kecuali demi memeriahkan perjalanan. Ada kerinduan tersendiri melihat kebersamaan Drac bersama keluarga kecilnya, atau melihat Drac menjalani petualangan (plus ribut-ribut kecil) bersama genk monsternya yang konyol ini. Dalam A Monster Vacation, jagoan kita lebih sering menghabiskan waktu dengan Ericka yang bahkan kalah menarik dari Johnny yang juga manusia. Efek lainnya, A Monster Vacation terasa tak seberapa lucu dibandingkan dengan dua instalmen terdahulu – khususnya seri kedua yang amat mengasyikkan. Saya sih masih sempat dibuat beberapa kali tergelak seperti pada prolog yang menyoroti pertarungan abadi antara Drac dengan Abraham Van Helsing (Jim Gaffigan), lalu penerbangan penuh mimpi buruk menggunakan jasa Gremlin Air, serta klimaks di lantai dansa yang memperdendangkan kembali tembang ‘Macarena’ setelah sekian lama tak mendengarnya, tapi di sisa durasi yang humornya seringkali meleset hanya mampu membuat saya menyunggingkan senyum saja.

Acceptable (3/5)