“I don’t know what my future holds, but the world is wide and I want to make some memories.”
Kapan terakhir kali kamu merasa bahagia selepas menyaksikan sebuah film di bioskop? Kemarin, minggu lalu, bulan lalu, tahun lalu, atau sudah terlalu lama sampai tak sanggup untuk mengingatnya dengan jelas? Bagi saya, pengalaman membahagiakan tersebut baru saja terjadi dua hari silam seusai memutuskan untuk menebus tiket Mamma Mia! Here We Go Again arahan Ol Parker (Imagine Me & You, Now Is Good). Saya sendiri memang cukup menikmati instalmen pertamanya yang dirilis pada tahun 2008 silam – sekalipun noraknya kebangetan – karena bagaimanapun juga menyaksikan sebuah film musikal yang materi ceritanya disusun berdasarkan pustaka lagu keluaran grup musik populer asal Swedia, ABBA, tetaplah menyenangkan. Maka begitu jilid keduanya dilepas dengan jajaran pemain yang masih sama (plus beberapa wajah baru), tidak ada alasan untuk melewatkannya begitu saja. Kala akhirnya duduk manis di dalam gedung bioskop demi menyaksikan Mamma Mia! Here We Go Again, ekspektasi yang saya tanamkan tidaklah muluk-muluk. Asalkan bisa dibuat berdendang dan bergoyang mengikuti irama lagu-lagu nostalgia dari ABBA di sepanjang durasi seperti jilid pendahulunya, saya sudah puas. Tapi kemudian menit demi menit bergulir yang perlahan tapi pasti menyadarkan diri ini: hey, ini lebih baik dari film pertamanya! Yang saya maksud lebih baik disini tidak hanya pada sektor narasi, tetapi juga pengemasan yang membuat setiap momen musikalnya terasa lebih meriah ketimbang seri pendahulunya. What a surprise, huh?... or not.
Dalam Mamma Mia! Here We Go Again, kita diboyong menuju lima tahun selepas rentetan kejadian di film pertama sekaligus dua puluh lima tahun sebelumnya. Pada linimasa pertama, kita mendapati bahwa Donna Sheridan (Meryl Streep) telah meninggal. Putrinya, Sophie (Amanda Seyfried), sedang mempersiapkan segala urusan untuk menggelar pesta pembukaan kembali hotel milik sang ibunda di Kalokairi, Yunani. Akan tetapi ditengah kesibukannya tersebut, Sophie justru bertengkar hebat dengan suaminya, Sky (Dominic Cooper), yang mendapat tawaran pekerjaan di New York dan dikecewakan oleh kedua ayahnya, Harry (Colin Firth) beserta Bill (Stellan Skarsgard), yang urung menghadiri pesta pembukaan karena kesibukan masing-masing. Beruntung bagi Sophie masih memiliki ayah lain, Sam (Pierce Brosnan), dan dua sahabat dekat sang ibu, Tanya (Christine Baranski) dan Rosie (Julie Walters), yang bersedia menemani sekaligus membantu Sophie mempersiapkan pesta. Melalui sosok Tanya dan Rosie ini, Sophie berkesempatan untuk mendengar kisah masa muda sang ibu. Beranjak dari sana, penonton memasuki linimasa kedua yang menyoroti sepak terjang Donna muda (Lily James) dalam misi mencari jati. Pencarian tersebut membawa Donna menyusuri Paris yang lantas mempertemukannya dengan Harry muda (Hugh Skinner), kemudian Bill muda (Josh Dylan) dalam pelayaran menuju Yunani, dan akhirnya Sam muda (Jeremy Irvine) setibanya Donna di Kalokairi. Hubungan singkat yang terjalin antara Donna dengan ketiga laki-laki inilah yang memunculkan pertanyaan, “siapa ayah kandung dari Sophie?”, di film pertama.
Jika film pertama lebih banyak berceloteh mengenai cinta, maka Mamma Mia! Here We Go Again menghadirkan topik yang lebih serius, yakni membicarakan tentang kehilangan. Atau lebih mendalam lagi, ini adalah sebuah kisah tentang mengenang mereka yang telah tiada, merayakan pencapaian hidup mereka, dan melestarikan peninggalan mereka. Sebuah materi yang sebetulnya lebih memungkinkan dilantunkan dengan nada penceritaan yang sendu-sendu mengundang – meski belakangan cukup sering diaplikasikan ke film komedi. Tapi berhubung ini adalah film kelanjutan dari Mamma Mia! The Movie yang di sepanjang durasinya menampilkan para karakter yang senantiasa bersenandung dan menari-nari bahagia diiringi tembang-tembang hits milik ABBA, sudah barang tentu kamu tidak akan menjumpai karakter yang bermuram durja berlama-lama dalam Mamma Mia! Here We Go Again. Ol Parker mengajak Sophie dan kerabat-kerabatnya (beserta penonton, tentu saja) untuk mengenang Donna dengan menceritakan masa mudanya yang dipenuhi keberanian, spontanitas, dan semangat berapi-api. Tidak seperti sang pendahulu yang guliran pengisahannya kerapkali maksa demi mengakomodir masuknya lagu-lagu ABBA ke dalam film sampai-sampai memberikan efek samping berupa meringis (tapi tetap fun), naskah rekaan Parker tersusun lebih rapi. Juktaposisi masa sekarang dengan masa lalunya berimbang, bahkan saling menyokong satu sama lain. Kita tertarik untuk mengikuti petualangan Donna muda dalam menemukan mimpinya, kita juga menginvestasikan emosi pada Sophie yang berjuang untuk meneruskan mimpi sang ibu.
Yang juga lebih baik di sini adalah penggunaan lagu-lagu ABBA yang tak lagi ditempatkan secara sembarangan. Memang betul Mamma Mia! Here We Go Again tak semenonjol sang kakak dari segi playlist mengingat sebagian besar koleksi terpopuler ABBA telah dipergunakan di film pertama. Akan tetapi, lagu-lagu ‘kecil’ ABBA ini malah justru lebih menyatu ke dalam penceritaan, utamanya rendisi ‘My Love, My Life’ oleh Lily James, Amanda Seyfried, serta Meryl Streep yang merupakan titik puncak dari film. Kamu akan terdiam, hati terasa bergetar, dan pada akhirnya meneteskan air mata. Apabila kamu telah kehilangan sosok ibu, momen ini akan menonjok emosimu hebat-hebat. Jika kamu masih memiliki ibu (dan berada jauh dari beliau), keinginan untuk menelpon seusai menonton seketika timbul. Dan jika kamu menonton bersama ibu atau orang terkasih, momen ini akan membuat kalian saling memberikan pelukan hangat. Salah satu momen terindah sekaligus paling emosional dalam film. Parker pun menempatkannya dengan tepat, setelah kita berulang kali diajak melantai ke lantai dansa. Ya, ‘My Love, My Life’ menjadi semacam gong usai sederet momen musikal yang sebagian besar diantaranya ditunjang koreografi tari meriah bukan kepalang. Nomor ‘When I Kissed the Teacher’ memberi pemanasan yang enerjik di menit pembuka, lalu kita mendapatkan ‘One of Us’ yang cukup bikin baper, disusul oleh ‘Waterloo’ yang keceriaannya mengundang tangis bahagia, kemudian ‘Angel Eyes’ yang membuat saya terpingkal-pingkal, lantas hadir versi baru ‘Dancing Queen’ yang semeriah film pertama, dan ditutup dengan penuh keceriaan oleh ‘Super Trouper’ dimana seluruh karakter bernyanyi-nyanyi bersama.
Ol Parker mengupayakan agar seluruh ‘tamu undangannya’ yang menghadiri pesta pembukaan hotel dan perayaan mengenang Donna dapat berbahagia di sepanjang durasi. Kamu memang akan membutuhkan tissue ketika Meryl Streep memutuskan untuk bergabung, tapi selain itu, kamu bakal kesulitan mengontrol bahu maupun kaki untuk tidak bergerak-gerak kala nomor-nomor klasik ABBA diperdendangkan. Terutama jika kamu memiliki hobi berkaraoke seperti saya dan menggemari lagu-lagu easy listening-nya ABBA. Sulit, sungguh sulit. Momen-momen musikal yang lebih menghentak ini melebur dengan manis bersama sinematografi yang lebih piawai dalam mengabadikan keindahan Kalokairi sekaligus lincah mengikuti gerak tari, naskah yang lebih menggigit, dan jajaran pemain ansambelnya yang tampak bersenang-senang di sini. Amanda Seyfried bermain solid sebagai Sophie yang kerap dihadang keragu-raguan, duo Christine Baranski beserta Julie Walters kerap ciptakan ledakan tawa, trio bapak (Pierce Brosnan, Colin Firth, dan Stellan Skarsgard) masih mencuri perhatian meski jatah tampil agak berkurang – kecuali Brosnan, dan Meryl Streep dalam penampilan singkatnya tetap saja terasa bertenaga. Karismanya memancar kuat. Karisma yang sama turut muncul dari Lily James yang memerankan masa mudanya yang periang dan mudah untuk disukai. James menjalin chemistry apik bersama pemeran masa muda trio bapak (Jeremy Irvine, Hugh Skinner, dan Josh Dylan) dan pemeran masa muda sahabatnya, Jessica Keenan Wynn beserta Alexa Davies. Dan oh, tentu saja jangan lupakan Cher sebagai nenek Sophie yang menambah keriaan di Kalokairi dengan menyanyikan ‘Fernando’ bersama Andy Garcia yang memerankan manajer hotel.
Dengan segala keceriaan dan kebahagiaan ditebar di sepanjang durasi, bagaimana mungkin saya bisa menolak pesona yang diberikan oleh Mamma Mia! Here We Go Again? My my, how can I resist you? Kesenangan yang saya dapatkan di film pertama, digandakan oleh si pembuat film di sini. Kekurangan yang mencederai film pertama, diperbaiki di sini. Tontonan ini memang tidak akan cocok bagi mereka yang sinis pada film ringan karena narasinya yang lurus-lurus saja seperti film komedi romantis kebanyakan. Namun jika kamu tidak keberatan diajak berdansa-dansi dan berkaraoke dengan tembang ABBA seraya mengikuti guliran penceritaan yang cheesy, Mamma Mia! Here We Go Again jelas ditujukan untukmu. Bahkan saya sangat merekomendasikan film ini kepada siapapun yang menginginkan sebuah tontonan yang membantu untuk mencerahkan mood yang buruk – karena ini membantu saya. Disamping hati dibuat bungah selama menonton, saya pun masih tidak bisa berhenti tersenyum setelah melangkahkan kaki ke luar bioskop. Ada perasaan bahagia menggelayuti diri ini yang kemudian mendorong saya untuk membagikan kebahagiaan tersebut kepada orang lain. Sebuah sensasi yang sudah cukup lama tidak saya dapatkan saat menonton di bioskop dan berkat Mamma Mia! Here We Go Again, saya bisa kembali mendapatkannya. Bagusss!
Outstanding (4,5/5)