“I didn't know her. I didn't know my daughter.”
Tanyakan kepada dirimu sendiri, seberapa jauhkah kamu mengenal keluargamu? Apakah kamu yakin telah mengenal mereka luar dalam sampai-sampai meyakini bahwa tidak ada rahasia tersembunyi diantara kalian? Apakah kamu yakin seseorang yang kamu temui saban hari sedari pertama kali mengenal dunia ini adalah seseorang yang sama saat keluar dari lingkungan keluarga? Sederet pertanyaan ini mungkin terdengar sedikit berlebihan bagimu karena semestinya (secara nalar) pihak yang paling memahami seluk beluk diri ini adalah keluarga, begitu pula sebaliknya. Akan tetapi, menilik fakta bahwa masyarakat modern memiliki kesibukan luar biasa dalam aktifitas di luar rumah dan kerapkali menganggap teknologi sebagai solusi bagi tereduksinya komunikasi intens secara langsung, mungkinkah kita benar-benar mengenal keluarga kita? Atau jangan-jangan ternyata selama ini kita tidak pernah mengenal siapa mereka yang sesungguhnya? Glek. Menyadari bahwa kemungkinan-kemungkinan tersebut sangat mungkin terjadi dewasa ini, sutradara pendatang baru Aneesh Chaganty pun memutuskan untuk memanfaatkannya sebagai fondasi bercerita bagi film perdananya yang bertajuk Searching. Di sini, Chaganty tak sebatas memberikan komentar sosial yang mengena perihal parenting beserta efek samping teknologi, tetapi juga menghadirkan sebuah gelaran thriller mendebarkan mengenai perjuangan seorang ayah dalam mencari putrinya yang mendadak raib tanpa jejak.
Narasi Searching memperkenalkan kita pada sebuah keluarga berdarah Korea yang mendiami pemukiman di pinggir kota San Jose, California. Keluarga kecil yang rukun ini terdiri dari tiga orang, yakni David Kim (John Cho) sang ayah, Pamela Nam Kim (Sara Sohn) sang ibu, dan Margot Kim (Michelle La) sang anak semata wayang. Melalui montase yang mengalun selama kurang lebih 5 menit di permulaan film, penonton diberi gambaran mengenai kebahagiaan yang menaungi keluarga ini. Mudahnya sih, Keluarga Kim adalah representasi dari keluarga imigran di Amerika Serikat yang ideal. Saya pun jatuh hati kepada Keluarga Kim selepas menonton sederet video yang merekam keseharian mereka yang dipenuhi canda tawa sehingga tanpa sadar muncul sebersit harapan untuk tetap melihat mereka bersatu sampai akhir... meski itu mustahil. Ya, benar saja, si pembuat film berkehendak lain. Pam menghadap ke Yang Maha Satu akibat penyakit kanker dan David berusaha keras untuk menjaga hubungannya dengan Margot. Dilihat dari interaksi mereka selama melakukan panggilan video atau berbalas pesan, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan keretakan dalam hubungan mereka. Mereka masih tampak akur seperti biasanya, walau kini tak lagi ada Pam. Akan tetapi, segalanya sontak berubah tatkala David tak bisa melacak keberadaan Margot yang belum kunjung pulang dari belajar kelompok di malam sebelumnya. Disamping meminta bantuan profesional kepada Detektif Rosemary Vick (Debra Messing) untuk mencari sang putri, David juga melakukan penelusuran sendiri bermodalkan komputer jinjing Margot yang lantas membawanya pada satu kesimpulan: dia tidak pernah benar-benar mengenal putrinya.
Sedari menit pembuka yang menyuguhi penonton dengan kumpulan video rumahan buatan David, saya telah menambatkan atensi sedemikian rupa pada Searching. Montase ini sedikit banyak mengingatkan saya pada adegan awal dari Up (2009) yang masih sulit dienyahkan jauh-jauh dari benak sampai sekarang. Manis, menghangatkan hati, sekaligus mengoyak-oyak sanubari. Chaganty mampu merangkum momen perkenalan terhadap Keluarga Kim tersebut secara efektif menggunakan video rumahan, foto, sampai kalender di komputer yang memunculkan sensasi seolah-olah kita sedang bernostalgia ke masa lampau yang penuh kebahagiaan (maupun kegetiran) menggunakan komputer pribadi. Kamu mungkin bertanya-tanya, kok bisa? Sensasi ini memungkinkan untuk dicapai lantaran Searching menggunakan sudut pandang orang pertama sehingga secara otomatis menempatkan kita pada posisi David. Seperti halnya Unfriended (2014) yang juga diproduseri Timur Bekmambetov, kita menggunakan mata si protagonis utama selama dia mengakses komputer jinjing atau ponsel cerdas miliknya. Alhasil, selama durasi mengalun, penonton tidak memperoleh visual konvensional karena layar bioskop betransformasi bak layar komputer. Guna memberi kesempatan bagi kita untuk mengetahui peralihan air muka dari David, Rosemary, maupun Margot selama kasus berlangsung, maka dipergunakanlah FaceTime beserta kamera komputer – terkadang, rekaman dari situs berita lokal pun dipergunakan – sehingga kamu jangan khawatir hanya disuguhi petunjuk melalui kursor bergerak-gerak, 'pengembaraan' lintas situs atau pesan teks sebagai pengganti dialog.
Chaganty sanggup menyiasati persoalan sudut pandang ini secara cerdik sehingga kita pun tetap bisa memantau pergerakan David sekalipun dia beranjak dari rumah. Bagusnya lagi, konsep unik yang diaplikasikan oleh Searching ini tak berakhir sebatas gimmick selaiknya Open Windows (2014) yang amburadul atau Unfriended yang semakin keteteran seiring berjalannya durasi. Oleh si pembuat film, konsep ini diupayakan untuk senantiasa berada di koridor realistis – dan tidak keluar jalur lalu mengkhianati konsepnya – demi memudahkan penonton untuk menempatkan diri pada posisi si protagonis. Chaganty pun menyadari, konsep semacam ini rentan berakhir blunder apabila tidak berlandaskan naskah dan pemain yang solid. Itulah kenapa, dua sektor ini mendapat perhatian khusus darinya sehingga atensi saya yang telah direbut oleh film di adegan pembuka, tak kunjung kembali sampai film tutup durasi. Mata saya benar-benar enggan untuk berpaling dari layar bioskop meski hanya sedetik. Pengarahan bagus dari Chaganty berdasarkan naskah ciamik rekaannya bersama Sev Chanian membawa diri ini melewati berbagai fase emosi di sepanjang film, antara lain tersentuh, tersentil, sampai paling mendominasi, tegang. Si pembuat film sanggup membangkitkan minat penonton melalui misteri yang dikedepankan dan kemampuannya dalam membangun ketegangan secara setapak demi setapak sampai-sampai kita pun tak keberatan untuk dilingkupi penasaran akibat pertanyaan, “dimanakah keberadaan Margot? Apakah dia masih hidup atau sudah tewas?”.
Di sela-sela proses investigasi mendebarkan yang memaksa David menelusuri akun-akun dunia maya putrinya serta menginterogasi setiap teman Margot, Searching turut mengapungkan pembicaraan mengena mengenai parenting di era serba teknologi yang mengajak para orang tua untuk menciptakan hubungan lebih terbuka pada anak, serta sisi gelap maupun sisi terang dari media sosial yang memperlihatkan bagaimana dunia maya membebaskan para penggunanya untuk menciptakan citra diri yang bisa jadi sama sekali bertolak belakang dari kenyataan; entah itu membawa pada kebaikan atau justru keburukan. Sesuatu yang dekat dengan realita, bukan? Penelusuran ini, pembicaraan ini, sanggup memiliki rasa berkat sensitivitas Chaganty dalam bercerita beserta performa gemilang John Cho yang menunjukkan range emosi yang luas di sepanjang durasi. Penonton bisa mendeteksi perbedaan mencolok dari air muka, gestur, serta sikap yang ditunjukkan oleh David di menit-menit pertama dengan puluhan menit selepasnya. David yang mulanya terlihat tegar dan mampu mengatur emosi, secara perlahan tapi pasti mulai mengungkap sisi rapuhnya. Dia terlihat frustrasi dan tak lagi sanggup mengendalikan amarahnya tatkala proses investigasi ini kerap membawanya ke jalan buntu. Terkadang dia marah kepada orang lain, tapi acapkali amarah itu ditunjukkan kepada dirinya sendiri karena dia merasa gagal sebagai orang tua.
“I didn't know my daughter,” begitu ujarnya begitu dia menyadari ternyata ada sesuatu yang salah dalam hubungannya dengan Margot. Apiknya performa John Cho ini memberikan impak tersendiri bagi penonton yang memungkinkan kita ikutan sepaneng (baca: sangat tegang) seperti halnya David yang terus berharap-harap cemas mengenai nasib putrinya. Saya sulit untuk duduk tenang sepanjang durasi mengalun dan baru benar-benar bisa menghembuskan nafas lega setelah lampu bioskop dinyalakan. Phew. What an experience!
Outstanding (4/5)