REVIEW : SLENDER MAN


“He gets in your head like a virus. Some he takes, some he drives mad. Once you see him, you can't unsee him.” 

Dua hari silam selepas menonton Slender Man, saya berbincang dengan kekasih melalui telepon genggam. Saat saya mengatakan bahwa ini adalah film horor, terdengar nada terkaget-kaget dari ujung telepon. “Hah, ini film horor? Saya kira film superhero lho karena ada 'man-man'-nya,” begitu kata doi. Awalnya sih diri ini hanya bisa terkekeh mendengar kepolosannya, tapi kemudian tak berselang lama saya tersadar, siapa ya yang sekarang masih mengingat (atau setidaknya mengetahui) mengenai sosok Slender Man di Indonesia? Rasa-rasanya, kecuali mereka memang menaruh minat pada cerita supranatural dan gemar berselancar di dunia maya sedari satu dekade lalu, tidak banyak yang akrab dengan makhluk gaib fiktif rekaan Eric Knudsen ini. Ketenaran dari sosok yang dideskripsikan memiliki tubuh amat ramping, tanpa wajah, dan mengenakan jas ini sendiri dimulai usai sang kreator memenangkan kompetisi Something Awful. Penggambaran beserta mitologinya yang creepy (konon, dia mempunyai kebiasaan menculik anak kecil serta memburu siapapun yang mencari tahu tentang latar belakangnya!) membuatnya kerap diperbincangkan di internet sampai-sampai menginspirasi tercetusnya web series, permainan video, sampai upaya pembunuhan dari dua bocah berusia 12 tahun yang menggegerkan seantero Amerika di tahun 2014 silam. 

Anehnya, sekalipun popularitas Slender Man telah merosot drastis utamanya setelah tragedi tersebut, Sony Pictures melalui bendera Screen Gems tetap nekat memberikan lampu hijau untuk pembuatan film horor bertajuk Slender Man yang menempatkan Sylvain White (The Losers, Stomp the Yard) di kursi penyutradaraan. Guliran pengisahan yang dikedepankannya sendiri tidak memiliki keterkaitan dengan tragedi yang telah disebutkan maupun mitologi utamanya yang melibatkan anak-anak demi menghindari kontroversi, melainkan membentuk narasi (yang sebetulnya tidak) baru. Film ini menempatkan empat remaja perempuan; Hallie (Julia Goldani Telles), Wren (Joey King), Chloe (Jaz Sinclair), dan Katie (Annalise Basso), yang memiliki ikatan persahabatan yang sangat kuat (sampai-sampai mengetahui password laptop masing-masing) sebagai karakter utama. Seperti halnya sekumpulan remaja kurang cerdas dan kurang kerjaan di film horor pada umumnya, mereka iseng-iseng melakukan ritual pemanggilan Slender Man di suatu malam setelah membaca serentetan cerita seram mengenai makhluk ini. Ya namanya juga dipanggil, tentu saja si makhluk misterius tersebut 'menyahut'. Slender Man (Javier Botet) menebar teror pada Hallie beserta konco-konconya secara perlahan tapi pasti melalui mimpi buruk beserta halusinasi yang sulit untuk dijelaskan yang kemudian mencapai puncaknya setelah satu demi satu dari empat sahabat ini mendadak raib dari muka bumi. 


Tatkala beberapa dari mereka raib tanpa jejak, semestinya ada rasa takut, duka karena kehilangan, sekaligus penasaran yang menguar dalam diri. Perasaan yang sewajarnya muncul apabila kita mampu menginvestasikan emosi pada barisan karakter dalam suatu film. Akan tetapi, mungkin karena saya memang tidak memiliki hati atau karena memang si pembuat film enggan membentuk empat sahabat ini sebagai karakter yang nyata, saya justru bersuka cita begitu mereka dimangsa oleh si karakter tituler. Tanpa tersadar, saya bersorak “horeee!” setiap kali ada yang lenyap karena itu berarti, stok karakter menyebalkan dalam film ini mulai berkurang. Heh. Tapi tentu saja, Sylvain White dan David Birke selaku perancang skenario tidak ingin kita berbahagia sedari awal karena sosok paling bikin hati dongkol dalam Slender Man adalah Hallie yang ditakdirkan sebagai 'final girl'. Digambarkan senantiasa skeptis terhadap keberadaan Slender Man walau kedua sahabatnya telah jelas menghilang dan dia sempat pula melihat bayangannya, Hallie jelas menyebalkan. Yang kemudian mendorong saya untuk mengklasifikasikannya sebagai karakter antagonis adalah ketika dia masih sempat-sempatnya berenak-enak dengan lelaki yang ditaksirnya sementara di waktu bersamaan, Wren kewalahan mencari cara untuk mengalahkan si makhluk ceking. Kalau saya berada di posisi Wren yang nyawanya seperti dicabut saat mendengar kelakuan Hallie, mungkin tanpa pikir panjang, saya akan menjadikannya sebagai tumbal. Sahabat macam apa yang meninggalkan sahabatnya yang sedang kesusahan sampai nyaris gila, hah? Hah? 

Ketidaksanggupan untuk bersimpati kepada barisan karakter yang sepertinya sudah keburu ngacir saat Tuhan membagikan otak ini turut diperparah oleh pengarahan dari sang sutradara yang tidak bernyawa. Padahal Slender Man memiliki satu dua momen yang sebetulnya berpotensi menimbulkan mimpi buruk bagi penonton. Disamping video pemanggilan yang mempunyai visual pembangkit bulu kuduk, ada pula adegan yang berlangsung di perpustakaan dan rumah sakit yang jika ditangani oleh sutradara dengan sensitivitas tinggi akan membuatmu meringkuk di kursi bioskop. Sayangnya, Sylvain White bukanlah sosok pencerita dongeng seram yang ulung. Sentakan yang didapat dari dua momen potensial ini bukan berasal dari kengeriannya, melainkan bersumber dari musik pengiring yang ketajaman suaranya mengoyak gendang telinga. Duh. Yang juga disayangkan, sosok Slender Man di sini lebih terlihat menggelikan ketimbang mengerikan. Keputusan untuk enggan menjlentrehkan mitologinya secara mendetail (hanya dipaparkan sekilas lalu saja) dan memaksa si makhluk ceking untuk berkejar-kejaran dengan korbannya alih-alih berdiam diri sedikit banyak berkontribusi terhadap terpangkasnya kengerian film ini. Selama durasi mengalun sepanjang 93 menit yang terasa seperti 2 jam lebih karena alurnya yang merangkak, saya tak kuasa menahan kantuk mengikuti narasi basinya yang entah sudah berapa kali didaur ulang oleh film horor ini. Satu-satunya ketakutan yang saya dapatkan usai menonton Slender Man adalah membayangkan uang dan waktu yang bisa saya alokasikan untuk sesuatu yang lebih berfaedah, malah saya hambur-hamburkan secara percuma demi menonton film ini.

Poor (1,5/5)