REVIEW : BELOK KANAN BARCELONA


“His future is yours, but his past was mine. You can't change that.” 

(Ulasan di bawah ini agak nyerempet spoiler)

Kala berbincang dengan seorang kawan lama usai menonton sebuah film di bioskop, dia berkata, “aku ingin sekali menonton film ini,” seraya menunjuk ke poster Belok Kanan Barcelona. Alasan yang mendasari ketertarikannya pada judul tersebut ada dua: pertama, dia menyukai materi sumbernya yakni buku rekaan empat penulis (Adhitya Mulya, Ninit Yunita, Alaya Setya, Iman Hidajat) berjudul Travelers' Tale – Belok Kanan Barcelona (2007) yang dibacanya semasa kuliah, dan kedua, dia menggemari premis klasik mengenai “jatuh cinta pada sahabat”. Saya hanya bisa mengangguk-angguk lantaran belum pernah membaca novelnya sehingga gambaran mengenai apa yang bisa diantisipasi dari guliran penceritaannya masih kabur. Tapi saat materi promosi mulai diluncurkan satu demi satu, ada rasa penasaran yang menggelitik. Modifikasi premisnya yang mengupas tentang rencana mengutarakan rasa suka jelang pernikahan sahabat yang ditaksir melontarkan ingatan ke My Best Friend's Wedding (1997) dan Made of Honor (2008), dan saya juga kepincut lantaran Belok Kanan Barcelona mengambil jalur komedi romantis (satu jalur yang jarang ditempuh oleh film percintaan di tanah air) dengan bubuhan kisah berkelana ke berbagai negara yang secara otomatis menjanjikan pemandangan memanjakan mata. Ditambah lagi, salah satu film termahal produksi Starvision ini menampilkan jajaran pemain utama yang mempunyai jejak rekam mengesankan. Bagaimana bisa menolaknya? 

Dalam Belok Kanan Barcelona, penonton diperkenalkan kepada empat karakter yang dipertautkan oleh tali persahabatan, yakni Francis (Morgan Oey), Retno (Mikha Tambayong), Yusuf (Deva Mahenra), dan Farah (Anggika Bolsterli). Mereka dikisahkan telah bersahabat sedari duduk di bangku SMA dan kini mereka memutuskan untuk berpisah jalan demi mewujudkan mimpi masing-masing. Francis adalah pianis penerima Grammy yang bermukim di Amerika Serikat, Retno menekuni bidang kuliner di Belanda, Yusuf menempati jabatan tinggi dalam sebuah perusahaan di Afrika Selatan, dan Farah menjadi seorang arsitek di Vietnam. Meski keempatnya mendiami negara yang berbeda-beda, mereka mengupakan untuk tetap saling berkomunikasi dengan memanfaatkan teknologi. Mereka rutin menggelar group video call yang kemudian dimanfaatkan oleh Francis untuk memberi pengumuman penting, yaitu dia akan menikahi kekasihnya, Inez (Millane Fernandez), di Barcelona, Spanyol. Kabar ini jelas membuat Retno dan Farah yang menaruh rasa suka pada Francis seketika terhenyak. Ditengah kekecewaannya, Retno memutuskan untuk datang ke pernikahan Francis sekaligus mengutarakan perasaan dia yang sesungguhnya, sementara Farah masih dirundung kegalauan lantaran terhalang oleh perjalanan bisnis. Saat Farah akhirnya memantapkan diri untuk menghadiri pernikahan Francis demi menyatakan cintanya, Yusuf yang semula tak berencana datang pun seketika memutuskan bertolak ke Barcelona guna mencegah terjadinya kekacauan yang berpotensi meretakkan hubungan persahabatan mereka berempat. 

Sebagai sebuah film yang mengatasnamakan dirinya sebagai komedi romantis, Belok Kanan Barcelona sebetulnya tergolong menyenangkan untuk ditonton. Apa yang kamu harapkan ada di film jenis ini, Guntur Soeharjanto (Ayat-Ayat Cinta 2, 99 Cahaya di Langit Eropa) sanggup untuk memenuhinya. Momen yang bikin senyum-senyum bahagia? Ada. Momen yang bikin tergelak-gelak? Ada banyak bertebaran. Momen yang bikin manusia-manusia berhati sensitif merasa tersentuh? Bisa pula dijumpai. Mesti diakui, Belok Kanan Barcelona berada pada masa-masa terbaiknya saat film mengaplikasikan mode kilas balik untuk memberi penonton gambaran mengenai hubungan yang terjalin diantara Francis dengan Retno, Farah, beserta Yusuf sewaktu empat sekawan ini masih mengenakan seragam putih abu-abu. Tak sebatas dijabarkan sekenanya saja (atau sekadar melalui montase yang merangkum perjalanan SMA mereka), si pembuat film memilih untuk menjlentrehkan tentang persahabatan mereka dari awal mula saling berkenalan, kebersamaan mereka di sekolah maupun kala senggang, sampai tentu saja interaksi malu-malu tapi mau antara Francis dengan Retno. Saya mendapati kesan jenaka, manis, sekaligus mengasyikkan selama film mengajak kita bernostalgia ke zaman SMA terlebih keempat pelakon utama membentuk chemistry amat meyakinkan sebagai sekumpulan sahabat sampai-sampai ada kalanya saya pun berharap bisa mempunyai sahabat segila-gilaan ini. Segila Farah dan Yusuf. 

Ya, performa jajaran pelakon merupakan salah satu keunggulan yang dimiliki oleh Belok Kanan Barcelona disamping selipan lagu-lagu pengiring yang membantu menyuplai emosi dalam beberapa adegan. Morgan Oey menunjukkan karismanya sebagai Francis yang diidolakan para perempuan di film ini, Mikha Tambayong menyimpan kegundahan dibalik pembawaan kalem nan meneduhkan hati yang lantas memicu terciptanya satu momen cukup emosional di pinggir pantai pada babak klimaks, Deva Mahenra memperlihatkan keahlian ngelabanya yang sebelumnya telah diasah melalui Sabtu Bersama Bapak (2016) dan Partikelir (2018), dan Anggika Bolsterli adalah hal terbaik yang dimiliki oleh Belok Kanan Barcelona. Betul, dia memang pernah menggila di Mau Jadi Apa (2017), tapi apa yang diperagakannya di sini berada dalam level berbeda yang meyakinkan saya bahwa dia mempunyai potensi untuk berkembang pesat apabila memperoleh naskah dan pengarahan yang tepat. Seluruh materi banyolan yang dibebankan padanya sanggup mengenai sasaran (dengarkan intonasinya, perhatikan ekspresinya, tengok polahnya), dan dia pun menangani adegan emosional dengan baik tanpa pernah membuatnya terasa janggal lantaran perannya yang komikal. Permainan lakon keempatnya – plus satu dua pemain pendukung seperti Millane Fernandez dan Yusril Fahriza – memungkinkan kita memperoleh adegan cicip rendang yang mengharukan, pukul-pukul motor yang lucu sekaligus pilu, interaksi Francis-Retno yang manis, sampai 'duel' Yusuf-Farah yang mengocok perut. 


Segala keseruan masa SMA yang mencuat dalam kilas balik ini, sayangnya tak berlanjut ke masa sekarang atau masa dewasa yang cenderung hambar dan bermasalah. Diantara empat sekawan ini, hanya Francis yang dianugerahi plot cukup menggigit (thanks to Inez!) sementara milik Retno berlangsung menjemukan, kepunyaan Farah terasa menyebalkan akibat kehadiran Atta Halilintar yang cenderung mengganggu alih-alih lucu, dan segmen Yusuf yang sejatinya berpotensi menarik malah agak kelewatan dalam ngebanyol utamanya pada adegan pesawat yang tak saja terkesan dipaksakan kemunculannya tetapi juga terbilang offensive dengan menjadikan pemuka suatu agama sebagai candaan ditengah situasi serba genting. Mengingat polesan CGI pun tak halus, saya sama sekali tak keberatan adegan ini dihempaskan apalagi bisa menghemat bujet (dan durasi). Persoalan yang melingkupi narasi masa dewasa ini nyatanya terus berlanjut hingga ke konklusi yang menjadi titik lemah dari Belok Kanan Barcelona. Keinginan si pembuat film untuk menyelipkan unsur keagamaan (yang diniatkan sebagai dakwah?) ke dalam narasi dan memberi akhir bahagia dengan memenangkan cinta justru membuyarkan segala kesenangan yang telah dibentuk oleh menit-menit sebelumnya. Solusi untuk memecahkan konflik kompleks yang diusung film, yakni perbedaan keyakinan, lagi-lagi cenderung menggampangkan dan bermain aman. Tiba-tiba saja si anu menganut agama baru, lalu kembali ke pelukan pujaan hatinya. Seolah-olah berganti keyakinan semudah berganti baju, padahal kita sama-sama tahu bahwa masalah keimanan tidaklah sesederhana itu. 

Jika pada akhirnya diberi penyelesaian sedangkal ini, lantas mengapa si pembuat film mesti menubrukkan dua sejoli tersebut dengan konflik seberat itu sedari awal? Padahal film telah mengulik konflik dilandasi alasan tidak ingin merusak persahabatan, tapi enggan dieksplorasi lebih mendalam lagi. Apakah demi menghindari kesan klise? Jika benar demikian, apa yang salah dengan klise? Toh Belok Kanan Barcelona semata-mata diniatkan sebagai tontonan hiburan pelepas penat. Teman Tapi Menikah (2018) – dan setumpuk film komedi romantis bagus lain termasuk dua judul yang saya sebutkan di awal – pun telah membuktikan, narasi klise bukan jadi soal. Eksekusi dan chemistry pemain memegang peranan yang lebih penting. Belok Kanan Barcelona memang tak mengecewakan di poin kedua, tapi soal eksekusi, sayangnya cenderung naik turun. Kadang bagus, kadang sebaliknya. Andai saja Belok Kanan Barcelona tak bermain-main dengan isu agama, bukan tak mungkin film ini masih mampu menjelma sebagai film percintaan berbibit unggul yang layak dikenang serta nyaman ditonton berulang-ulang. Sungguh disayangkan.

Acceptable (3/5)