REVIEW : CRAZY RICH ASIANS


“I'm not leaving because I'm scared or because I think I'm not enough, because maybe for the first time in my life I know I am. I just love Nick so much, I don't want him to lose his mom again.” 

Setidaknya ada tiga kali saya beruraian air mata selama menonton Crazy Rich Asians. Bukan, bukan disebabkan filmnya yang teramat mendayu-dayu atau merobek hati seperti Us and Them (2018) yang baru-baru ini saya tonton (damn that movie!), melainkan karena Crazy Rich Asians adalah sebuah film yang sangat indah. Saya tahu saya telah dibuat jatuh hati oleh film yang didasarkan pada novel laris berjudul sama rekaan Kevin Kwan ini sedari menit pertamanya yang menggebrak. Memberi kita sedikit banyak gambaran mengenai karakter-karakter seperti apa yang akan kita temui di sepanjang durasi. Rasa cinta yang telah tumbuh sejak dini ini semakin menguat, dan semakin menguat, seiring mengalunnya durasi. Meski saya memiliki 'obsesi' tersendiri terhadap film bergenre komedi romantis – jangan kaget, saya pun bisa menikmati yang dilabeli buruk – saya sejatinya menaruh sedikit pengharapan terhadap film Hollywood pertama berlatar dunia modern yang menempatkan pemain berdarah Asia sebagai pelakon utama sejak The Joy Luck Club (1993) ini. Dua faktor pemicunya adalah karya-karya sang sutradara, Jon M. Chu (Step Up 2, Justin Bieber: Never Say Never), acapkali hit-and-miss, dan premis yang diajukannya kurang menggugah selera mengingat pada dasarnya ini adalah interpretasi lain dari formula Cinderella story. Ekspektasi dan prasangka bahwa Crazy Rich Asians sebatas jualan mimpi babu secara perlahan tapi pasti mulai terbungkam tatkala film menguarkan pesona sekaligus jati dirinya yang sesungguhnya. I just can't help falling in love with this movie! 

Ya bagaimana mungkin kamu tidak jatuh hati dengan film ini sementara karakter utamanya sendiri sangat mudah untuk diberikan dukungan? Rachel Chu (Constance Wu) adalah sesosok protagonis yang bisa jadi belum pernah, atau sangat jarang, kamu temui di film percintaan. Dia tidak dideskripsikan sebagai perempuan lemah tanpa daya yang impian terbesarnya adalah menikahi seorang prince charming. Tidak. Dia bukan pula seseorang dengan kehidupan personal yang berantakan sehingga membutuhkan seorang lelaki untuk menyelamatkannya atau menyadarkannya bahwa dia memiliki arti. Tidak. Rachel memang tidak digambarkan berasal dari kalangan berduit, tetapi dia adalah perempuan mandiri dengan otak cerdas yang sudah mempunyai segala hal. Pekerjaannya sebagai dosen ekonomi berlangsung lancar, relasinya dengan sang ibu baik-baik saja bahkan cenderung hangat, dan hubungan asmaranya dengan sang kekasih, Nick Young (Henry Golding), hanya tinggal menunggu restu dari keluarga Nick. Kesempatannya untuk memperoleh restu sekaligus berkenalan lebih jauh dengan keluarga Nick akhirnya datang tatkala Nick mengajaknya menghadiri pesta pernikahan sepupunya di Singapura. Dalam penerbangan lintas benua di kelas utama, Rachel mendapati fakta mengejutkan mengenai latar belakang kekasihnya. Tapi kebenaran sesungguhnya yang lebih mengejutkan baru terungkap seusai Rachel bereuni dengan teman baiknya, Goh Peik Lin (Awkwafina), yang menyatakan bahwa seluruh properti di Singapura berada dibawah kepemilikan keluarga Young. Itu artinya, Nick bukan semata-mata berasal dari keluarga kaya melainkan keluarga kaya tujuh turunan!
  

Kemampuan saya untuk memberikan dukungan terhadap si protagonis utama sedari menit-menit awal inilah yang membuat saya mengurungkan niat untuk memutar bola mata selepas mendengar premis klise seputar “kekasihku ternyata kaya raya” yang diusung oleh Crazy Rich Asians. Ya, saya sudah terpikat dengan Rachel sejak dia memberikan kuliah game theory lalu berlanjut dengan makan bersama Nick. Kekaguman saya pada karakter ini kian meninggi seusai dia memasuki kehidupan keluarga Young yang serba glamor. Tidak tampak kekikukan atau pernyataan “ini bukan duniaku!” yang biasanya muncul di film sejenis, Rachel malah terlihat begitu percaya diri dan mampu menempatkan diri dengan mudah. Dia tidak mencuri perhatian karena kenorakannya, dia mencuri perhatian semata-mata karena ketidakrelaan kaum borjuis mata duitan untuk mendapati kenyataan bahwa hati Nick telah direnggut oleh seseorang dari kalangan jelata. Menyadari ada kebencian menyerang dirinya dari berbagai penjuru termasuk ibu Nick, Eleanor (Michelle Yeoh) yang memandangnya rendah, Rachel tak gentar. Ketimbang memuaskan para pembencinya dengan isak tangis maupun melarikan diri, dia memberikan perlawanan balik secara elegan yang menunjukkan adanya karakteristik seorang pejuang dalam dirinya – takut atau pengecut jelas tidak berada di dalam kamusnya – dan dia pun menegaskan bahwa dia memiliki integritas. Rachel akhirnya memilih untuk mundur teratur tatkala serangan kepadanya telah dianggapnya tidak lagi sehat lantaran telah menginjak-injak identitasnya sebagai seorang imigran berdarah Tionghoa serta harga diri dari seseorang yang amat dicintainya: sang ibu. Dalam satu adegan Peik Lin berujar, “kamu memiliki integritas. Itulah kenapa aku menghormatimu.” Saya pun mengangguk-angguk setuju karena sebagaimana Peik Lin, saya pun menaruh respek terhadap Rachel. 

Sosok Rachel dimainkan dengan sangat baik oleh Constance Wu (saya juga menyukai aktingnya di sitkom Fresh Off The Boat) yang membentuk chemistry meyakinkan bersama Henry Golding. Keduanya memberi kesan meyakinkan bahwa Rachel-Nick memang tengah dimabuk asmara. Bukan melalui untaian kata-kata romantis melainkan melalui tatapan, gestur, sampai sikap diantara satu sama lain. Ada perasaan senang menyaksikan mereka bersama sehingga memunculkan keinginan untuk melihat mereka dipersatukan di penghujung durasi. Kita mungkin telah mengetahui kemana muara dari kisah cinta ini, tapi prosesnya yang penuh lika-liku disertai lakonan apik dari jajaran pemain membuat perjalanan sederhana ini tetap terasa sangat menyenangkan untuk diikuti. Disamping dua pelakon utama, kunci lain yang membawa Crazy Rich Asians ke kelas lebih tinggi adalah performa para pelakon pendukung. Awkwafina bersama Ken Jeong sebagai ayahnya dan Nico Santos sebagai sepupu Nick kerap mencuri perhatian dengan selorohan mereka yang ngasal nan kocak tapi suka bener, lalu Gemma Chan sebagai bidadari turun dari kayangan Astrid Leong yang memberi kekuatan pada Rachel untuk bertahan dari serangan para pembenci sekaligus menyediakan subplot mengenai kekuatan perempuan, dan tentu saja Michelle Yeoh sebagai ibunda Nick yang rela melakukan apapun untuk kebahagiaan putranya di masa depan. Dengan wibawanya dan air mukanya yang berbicara, Yeoh mencuat di setiap kemunculannya yang membuat kita bisa memahami mengapa Eleanor disegani oleh banyak orang. Kita hormat kepadanya, kita takut kepadanya, kita benci kepadanya, tetapi di waktu bersamaan, kita pun mengasihinya. Melalui adegan bermain mahjong yang membuat saya bercucuran air mata, saya bisa memahami alasan dibalik kebenciannya terhadap Rachel. Alasannya logis yang justru membuat diri ini mengemukakan beberapa teori yang diawali dengan kalimat, “jangan-jangan sebenarnya Eleanor ini...” 


Selain film ini mempunyai barisan karakter menarik dengan lakonan apik, visual sangat cantik (Oh, adegan pernikahan di gereja yang disulap menjadi sawah itu warbiyasak bikin hati bergetar!) dan deretan lagu pengiring yang efektif menyokong adegan, faktor lain yang menyebabkan saya terjebak pesona Crazy Rich Asians adalah narasinya yang mengikat. Di permukaan, film ini memang tampak formulaik lantaran mengaplikasikan template dongeng Cinderella pada guliran pengisahannya dan seolah hanya ingin pamer keglamoran pada visualnya. Saya pun tak bisa menyalahkan karena template ini pun masih berfungsi dengan baik asalkan dieksekusi secara tepat dan bagaimanapun juga, Crazy Rich Asians diniatkan sebagai produk komersil. Akan tetapi jika kita berkenan untuk melihatnya lebih dalam, film ini menyimpan subteks bagus mengenai kultur keluarga Tionghoa. Beberapa diantaranya meliputi melestarikan tradisi lewat makanan agar generasi mendatang tak melupakan akar mereka, seni bermain mahjong yang tak saja menguji kemampuan dalam mengatur strategi tetapi juga berkomunikasi, sampai eratnya hubungan seorang ibu dengan anak-anaknya. Sebuah bahan obrolan positif yang sangat amat jarang kita jumpai di sinema Hollywood yang kerap kali merepresentasikan ras Mongoloid secara negatif dan berada di posisi terpinggirkan. Subteks ini memungkinkan masyarakat luar khususnya dari peradaban Barat mendapat pemahaman mengenai kultur Tionghoa secara spesifik (dan Asia secara umum), serta memungkinkan masyarakat Asia untuk berbangga diri berkat penggambaran yang positif sekaligus merasuk ke dalam guliran pengisahan berkat problematikanya yang familiar tak semata-mata hanya dialami kalangan borjuis. Terdengar berat? Tak perlu risau. 

Keputusan untuk mengawinkannya dengan template dongeng Cinderella memungkinkan narasi untuk tetap mudah dikudap sehingga kita pun bisa dibuat terbahak-bahak mendengar humornya yang tak jarang bermain referensi (kata seorang kawan, “semakin Cina dirimu, semakin keras tawamu”), tersenyam-senyum melihat interaksi menggemaskan dua sejoli utama, hingga menyeka air mata haru menyaksikan keindahan satu dua momen yang berkaitan dengan lamaran beserta pernikahan dan kehangatan yang dipancarkan melalui narasi mengenai pentingnya keluarga. Sungguh, saya menikmati sekali setiap menit yang digulirkan oleh Crazy Rich Asians sampai-sampai muncul keinginan untuk menontonnya lagi selepas lampu bioskop dinyalakan. Tahun 2018 ini memang cukup ramai dengan film komedi romantis jempolan, tapi sejauh ini, Crazy Rich Asians berada di posisi paling unggul dan saya pun tak keberatan untuk menyebutnya sebagai salah satu film komedi romantis terbaik yang pernah dibuat. Sangat, sangat indah dan menyenangkan. Selepas menontonnya kamu akan diingatkan bahwa harta yang tak ternilai harganya bukanlah emas atau setumpuk uang melainkan cinta kasih yang tulus dan tanpa pamrih dari ibu. Dari keluarga. Selama kamu memiliki itu, maka kamu sudah kaya raya. 

Info layanan masyarakat : Ada adegan tambahan di sela-sela end credit. Bertahanlah. 

Outstanding (4,5/5)