REVIEW : GILA LU NDRO


“Masa alien namanya Alien juga. Terus dipanggilnya Al. Kenapa nggak sekalian aja Al El Dul. Jangan bilang sama aku kalau ibunya Alien itu Bunda Maia.” 

Pertama kali Falcon Pictures mengumumkan rencana pembuatan sebuah film komedi berjudul Gila Lu Ndro, saya mengira film ini adalah perpanjangan dari dwilogi Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss yang menuai sukses besar di bioskop-bioskop tanah air. Atau dengan kata lain, sebuah film pecahan (spin-off). Dugaan ini bukannya tanpa alasan, mengingat “gila lu, Ndro!” merupakan salah satu jargon legendaris yang kerap dilontarkan dalam film-film Warkop DKI, lalu kedua pelakon Indro yakni Indro Warkop beserta Tora Sudiro didapuk sebagai pelakon utama, dan penggarapan film pecahan mulai mewabah di perfilman Indonesia. Jadi ya, saya sempat mengira Gila Lu Ndro bakal menempatkan fokus penceritaannya pada karakter Indro tatkala dia memisahkan diri dari dua sohib kentalnya, Dono dan Kasino. Yang kemudian tak disangka-sangka, materi narasi dari film arahan Herwin Novianto yang sebelumnya memberi kita dua film bagus; Tanah Surga Katanya (2012) dan Aisyah Biarkan Kami Bersaudara (2016), ternyata bukan bersinggungan dengan Warkop DKI dan justru mengambil jalur komedi satir dalam guliran pengisahannya. Indro Warkop dijelmakan sebagai makhluk angkasa luar yang turun ke bumi guna dimanfaatkan untuk mengkritisi kondisi sosial politik yang carut marut di negeri ini seperti halnya Aamir Khan dalam PK (2014).

Ya, Indro Warkop adalah sesosok alien bernama Alien dari Planet Alianus yang menyambangi bumi dengan tujuan mencari sumber damai. Planet yang dipimpinnya – konon, Alien atau Al adalah sesosok raja – tengah dirundung pertikaian tak berkesudahan lantaran masyarakatnya mudah untuk terprovokasi. Demi mencari solusi atas permasalahan planetnya tersebut, Al pun melakukan studi banding lintas galaksi menuju bumi yang dianggapnya memiliki jawaban. Setibanya di bumi, Al berkenalan dengan Indro (Tora Sudiro) yang seketika bersedia untuk membantunya tanpa sedikitpun menaruh kecurigaan dan pertanyaan lebih lanjut mengenai jati diri Al. Indro pun mengantarkan Al ke sebuah tempat pijat refleksi bernama sumber damai karena mengira si alien ini membutuhkan relaksasi. Akan tetapi, ditengah perjalanan mereka yang dipenuhi dengan kekonyolan seperti menyaksikan ribut-ribut di pasar yang dipicu oleh seekor marmut dan ditilang polisi karena kepala Al dengan tonjolan sangat besar menyulitkannya untuk mengenakan helm, Indro seketika menyadari bahwa sumber damai yang dimaksud oleh Al memiliki makna yang sesungguhnya. Literally, kalau meminjam bahasa anak Jakarta Selatan. Ini tentu bukan perjalanan yang mudah bagi Indro dan Al mengingat Jakarta sejatinya tidak jauh berbeda dengan Planet Alianus yang masyarakatnya gampang tersulut konflik hanya karena persoalan sepele. 


Menengok materi pengisahannya yang menyentil tentang isu sosial dan politik di tanah air seperti pertikaian dipicu hoax, aparat penegak hukum yang mudah untuk disuap, sentimen anti pendatang, kapitalisme, sampai popularitas di kalangan public figure tanpa dibarengi bakat, Gila Lu Ndro sebetulnya mempunyai potensi untuk diterjemahkan sebagai sajian satir yang menggigit. Hanya saja, potensi tersebut tersia-siakan akibat penyampaian Herwin Novianto yang tak lancar dan pesan moral yang acapkali disampaikan kelewat gamblang sampai-sampai berasa ceriwis sekali. Ketidaklancaran si pembuat film dalam bercerita dapat ditengok melalui caranya membentuk narasi yang tak ubahnya kumpulan segmen tanpa ada kesinambungan berarti yang keberadaannya semata-mata untuk memfasilitasi munculnya pesan moral. Kita hanya diajak melompat-lompat dari satu segmen ke segmen lain yang seluruhnya dikomando oleh pesan moral sehingga perlahan tapi pasti rasa lelah mulai menyergap lantaran film terlalu sibuk untuk menyuapi penonton dengan pesan ketimbang menyodorkan cerita utuh. Pilihan kreatif untuk menyampaikan narasi dalam bentuk dongeng Indro kepada istrinya, Nita (Mieke Amalia), yang menuntut penjelasan mengenai kepergian tanpa kabar sang suami malah semakin mengungkap titik lemah film ini. Harus diakui memang, ini tampak unik pada mulanya terlebih transisi dari cerita Indro ke rumah Indro terasa begitu mulus. Namun seiring berjalannya durasi, pilihan kreatif ini justru menghambat laju film. 

Sang istri terlampau sering menginterupsi dengan alasan senada seirama sampai-sampai saking gemasnya membuat saya ingin berkata, “sudahlah, Ndro. Akhiri saja ceritamu sampai di sini.” Terlebih, seperti kata Nita, cerita Indro memang monoton karena tak memiliki dinamika di dalamnya. Terlalu absurd untuk diterima sebagai kebenaran apalagi pembelajaran dan dua karakter utama, yaitu Indro beserta Al, acapkali hanya mengobservasi selayaknya penonton ketimbang terlibat langsung. Tatkala mereka akhirnya mendapati jawaban permasalahan di penghujung film seraya berfilosofis ria, saya pun nyeletuk “lho kok?” alih-alih memahaminya. Masalahnya, itu muncul darimana? Ujug-ujug mak bedunduk. Mereka berdua adalah karakter yang hampa, terutama Indro. Saya tak pernah mengetahui latar belakang Indro (siapa sih dia?), tak pernah bisa merasakan keheranannya pada sosok Al yang notabene makhluk asing (seolah-olah melihat alien sudah teramat biasa), dan tak pernah bisa pula melihat semangatnya dalam menemukan sumber damai. Interaksi yang terjalin antara dua sejoli ini pun lebih menyerupai tour guide dengan turis ketimbang dua makhluk yang dipersatukan oleh hasrat untuk menemukan solusi bagi kemanusiaan. Lempeng cenderung sukar dipercaya yang perlahan tapi pasti menggerus daya tarik film sekaligus pesan yang hendak diutarakan. Meski ada kalanya mengada-ada serta tak jarang meleset dari sasaran, Gila Lu Ndro beruntung karena masih memiliki beberapa amunisi humor yang mampu mengundang gelak tawa sehingga penonton pun tak dibuat suntuk-suntuk amat di dalam bioskop.

Acceptable (2,5/5)