“Let me get this straight. We’re living a Goosebumps story right now?”
Sebagai seorang bocah yang tumbuh besar ditemani rangkaian cerita seram Goosebumps rekaan R.L. Stine, saya tentu bahagia tatkala Sony Pictures mengumumkan rencana untuk memboyong Goosebumps ke format film layar lebar. Baru membayangkan para monster rekaan Stine berkeliaran di depan mata saja sudah bikin berjingkat-jingkat apalagi saat menontonnya di bioskop. Nostalgia masa kecil menyeruak! Dan untungnya, versi film panjang yang dilepas pada tahun 2015 silam ini tak mengecewakan dan terbilang mengasyikkan buat ditonton. Memenuhi segala pengharapan yang bisa disematkan untuk tontonan ini. Ada Slappy si boneka ventriloquist yang licik beserta konco-konconya sesama monster menebar teror yang cukup mengerikan bagi penonton cilik, ada petualangan seru dua remaja ditemani oleh Stine (diperankan oleh Jack Black) dalam upaya mereka menyelamatkan dunia dari cengkraman monster-fiktif-menjadi-nyata ini, dan tentunya, ada humor menggelitik yang menyertai. Narasinya yang menempatkan manuskrip Stine sebagai sumber mencuatnya petaka harus diakui cukup kreatif sehingga memungkinkan si pembuat film untuk mempertemukan penonton dengan karakter-karakter favorit dari berbagai judul yang sejatinya tak saling berkaitan. Syukurlah, upaya untuk mempertahankan legacy dari Goosebumps ini memperoleh sambutan hangat baik dari kritikus maupun penonton, jadi kehadiran sebuah sekuel pun tak terelakkan dan saya jelas sama sekali tak merasa keberatan. Saya malah ingin franchise ini terus berkembang!
Dalam sekuel yang mengaplikasikan tajuk Goosebumps 2: Haunted Halloween, penonton disodori materi penceritaan yang berdiri sendiri dan tak mempunyai koneksi dengan film terdahulu – jadi jika kamu belum menonton seri pertamanya pun tak jadi soal. Para remaja akil baligh di instamen pertama tak lagi muncul, begitu pula dengan Stine (damn!), karena posisi karakter utama sekali ini diserahkan kepada dua sahabat, Sonny (Jeremy Ray Taylor) dan Sam (Caleel Harris), beserta kakak Sonny, Sarah (Madison Iseman). Pertautan ketiga karakter ini dengan dunia Stine dimulai usai Sonny dan Sam yang mengisi waktu luang sebagai pembersih sampah mendapat panggilan untuk mengenyahkan barang-barang di sebuah rumah terbengkalai yang belakangan diketahui pernah dihuni oleh Stine. Tatkala mengumpulkan rongsokan, dua sahabat ini menemukan sebuah peti berisikan manuskrip yang digembok. Dasar bocah, alih-alih ditinggalkan begitu saja, mereka justru membukanya dan Slappy pun muncul secara mendadak. Belum berhenti sampai di situ, mereka juga membaca sebuah mantra yang terselip di kantong Slappy. Mulanya sih tak terjadi apa-apa (FYI, Slappy ditemukan seperti boneka pada umumnya), hingga Slappy menampakkan wujud hidupnya kepada Sonny dan Sam. Sebagai bentuk 'balas budi', Slappy berjanji akan menjadi anggota keluarga yang baik dan membantu keduanya – yang kita ketahui bersama bahwa itu hanyalah kebohongan belaka. Dan memang tak berselang lama, serangkaian peristiwa aneh pun terjadi sampai-sampai Sarah pun ikut turun tangan membantu adiknya guna menghentikan Slappy lantaran keselamatan keluarga mereka dan warga kota menjadi taruhannya.
Seperti halnya sang kakak, Goosebumps 2: Haunted Halloween pun masih menawarkan sajian menghibur bagi seluruh anggota keluarga. Sebagai penggemar karya si pengarang, tentu ada kebahagiaan tersendiri bisa menyaksikan tingkah polah Slappy dari Boneka Hidup Beraksi yang ngeselin, nyeremin, sekaligus nggemesin di waktu bersamaan. Ada kebahagiaan pula melihat monster-monster kreasi Stine seperti manusia serigala dari Manusia Serigala Rawa Demam, manusia salju dari Misteri Manusia Salju, sampai orang-orangan sawah dari Teror Orang-orangan Sawah – walaupun kesemuanya telah diperkenalkan melalui film pertama. Selain parade para monster yang menciptakan kekacauan disana-sini diorkestrai oleh Slappy, kesenangan yang muncul di film kedua ini dipersembahkan oleh interaksi yang mencuat diantara kedua pemain utamanya. Jeremy Ray Taylor dan Caleel Harris bermain lepas sekaligus memberi kesan kepada penonton bahwa mereka memang bersahabat sehingga mudah bagi penonton untuk bersorak sorai mendukung keduanya dalam menghentikan rencana busuk si boneka hidup. Harus diakui, para bocah ini memang suguhkan performa kompeten tapi itu sama sekali tak cukup untuk menambal kekosongan akibat minimnya porsi tampil Jack Black yang sebatas cameo. Kita membutuhkan kehadiran R.L. Stine versi rekaan lebih dari sebatas pahlawan kesiangan. Duh! Terlebih, hubungan benci-cinta antara dirinya dengan Slappy merupakan bagian terbaik dari seri terdahulu yang semestinya bisa dieksplorasi di sini mengingat ‘si anak yang dicampakkan’ memutuskan untuk membalas dendam dengan berburu keluarga baru. Materi yang menarik, mengusik kenyamanan, dan creepy yang sayangnya tak dikembangkan.
Alih-alih mengkreasi narasi yang lebih kompleks dengan pertaruhan yang menjulang selaiknya film kelanjutan pada umumnya, Goosebumps 2: Haunted Halloween malah sebatas mengkreasi ulang apa yang telah disodorkan di film terdahulu. Portal menuju dunia Stine terbuka, para monster yang dipimpin oleh Slappy bebas berkeliaran lalu menciptakan masalah, dan pahlawan-pahlawan kita yang masih ABG pun bersatu padu untuk menghentikannya. Familiar? Saya pribadi tidak ambil pusing apabila sebuah sekuel mengedepankan narasi senada dengan film sebelumnya – selama masih bekerja dan menghibur, why not? – hanya saja Ari Sandel (The DUFF, When We First Met) tak memberi banyak sentuhan menyegarkan bagi film arahannya ini. Malah, bujet cekak yang digelontorkan oleh pihak studio terlihat sangat membatasi kreativitasnya di sini sehingga film acapkali tampak murah (polesan CGI kasar adalah salah satu buktinya) serta seolah-olah direncanakan untuk masuk ke bioskop pada menit-menit terakhir. Saya bisa mengatakan, untuk ukuran sebuah film kelanjutan yang biasanya mempunyai energi lebih besar dibanding film pembuka, Goosebumps 2: Haunted Halloween cenderung gontai. Keputusan untuk meredam adegan-adegan terornya demi tersaji sebagai tontonan yang kid-friendly jelas hanya memperburuk keadaan. Saya memang masih bisa menikmati gelaran ini karena bagaimanapun juga elemen hiburannya tetap berjalan dengan baik, tapi saya tak bisa menampik bahwa sekuel ini mengecewakan dan lebih cocok untuk ditonton di layar televisi bersama-sama anggota keluarga.
Acceptable (2,5/5)