REVIEW : A SIMPLE FAVOR


“Secrets are like margarine. Easy to spread, but bad for heart.” 

Tontonan berbasis thriller mengenai pencarian orang hilang yang ternyata menyimpan rahasia gelap tampaknya tengah digandrungi oleh Hollywood pasca meledaknya Gone Girl (2014). Beberapa film yang mengedepankan narasi senada – dan layak diberi sorotan – antara lain The Girl on the Train (2016) yang menghadirkan kasus raibnya seorang istri beserta Searching (2018) yang memberi tamparan keras kepada para orang tua yang abai terhadap anak mereka. Mengikuti jejak ketiga film tersebut, khususnya dua judul pertama menilik materinya yang sama-sama disadur dari novel populer dan sosok yang menghilang pun sama-sama seorang istri, adalah A Simple Favor. Hasil ekranisasi prosa gubahan Darcey Bell ini tak hanya menampilkan satu orang karakter utama, melainkan terdapat dua karakter yang masing-masing memendam masa lalu kelam. Keduanya adalah emak-emak dari pinggiran kota yang mendeklarasikan hubungan mereka sebagai sahabat, meski kebenarannya diragukan. Apakah benar mereka menjalin ikatan persahabatan tersebut secara tulus? …atau ada kepentingan dibelakangnya? Ditangani oleh Paul Feig yang sebelumnya menggarap film sarat banyolan semacam Bridesmaids (2011) dan Spy (2015), maka jangan heran saat mendapati A Simple Favor mempunyai muatan humor yang pekat sekalipun menjejakkan dirinya di jalur thriller dan dijual dengan embel-embel “the darker side of Paul Feig”

Dua perempuan yang mempunyai peranan krusial terhadap pergerakan narasi tersebut adalah Stephanie (Anna Kendrick) dan Emily (Blake Lively). Mereka berasal dari dunia yang sama sekali berbeda; Stephanie dideskripsikan sebagai ‘helicopter mom’ lantaran menaruh perhatian mendalam terhadap kebutuhan putranya sekaligus rutin mengajukan diri sebagai sukarelawan di acara sekolah, sementara Emily yang bekerja sebagai humas bagi perusahaan yang bergerak di bidang busana nyaris tak memiliki waktu untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga. Di atas kertas, dua manusia dengan gaya hidup bertolak belakang seperti Stephanie dan Emily sangat mustahil untuk berkawan akrab – para bunda di sekolah tak percaya mereka bisa berteman. Sekadar basa-basi atau ngobrol seperlunya sih bisa, tapi bersahabat? Hmmm… diragukan. Lebih-lebih, Stephanie yang mengisi waktu luangnya dengan mengurus vlog perihal rumah tangga ini sejatinya belum mengenal baik Emily selain mengetahui bahwa dia sedang terhimpit masalah finansial lantaran gaji sang suami sebagai dosen, Sean (Henry Golding), tak mencukupi. Stephanie yang mulanya memuja-muja Emily ini akhirnya menyadari bahwa sahabatnya tersebut tak sesempurna bayangannya, bahkan menyimpan sisi kelam tak terbayangkan, selepas Emily mendadak lenyap dari kehidupannya secara misterius. 


Sedari opening credits yang ditampilkan bergaya bak film misteri dari era 1960-an dengan iringan lagu Prancis, A Simple Favor telah membetot atensi. Kemunculan brownies maupun tas jinjing – ketimbang sebatas senjata, darah, atau mayat – memberikan isyarat bahwa tontonan misteri yang hendak kamu saksikan mengaplikasikan nada penceritaan berbeda: berselimutkan komedi gelap. Pihak studio boleh saja koar-koar dengan menyatakan film ini menawarkan sajian berbeda dari seorang Paul Feig, tapi si pembuat film tetap saja tak sepenuhnya menanggalkan identitasnya sekalipun sekali ini dia mesti berkompromi dengan materi pengisahannya yang gulita. Jadi jika kamu membayangkan A Simple Favor akan seintens Gone Girl atau semuram The Girl on the Train, lupakan saja. Ada banyak canda tawa disana sini, termasuk pada momen yang semestinya membuatmu berdebar-debar. Meski kadangkala memang mendistraksi, sulit untuk menyangkal bahwa guyonannya acapkali mengenai sasaran. Untuk urusan ngelaba, Paul Feig sama sekali tak gagap menanganinya lebih-lebih dia terbantu oleh performa jajaran pemainnya khususnya duo Anna Kendrick dan Blake Lively. Mereka adalah kombinasi maut yang membawa corak berbeda satu sama lain dalam selera humor. Kendrick bergantung pada kecanggungan karakternya lebih-lebih saat berhadapan dengan sesuatu yang asing bagi dirinya, sedangkan Lively cenderung ‘nakal’ mengikuti kegemarannya terhadap miras, seks, serta kata-kata kasar. 

Dua karakter ini merepresentasikan perempuan dari kalangan konservatif beserta progresif, sekalipun ini tak lantas dipergunakan sebagai senjata untuk melontarkan komentar sosial tajam oleh A Simple Favor. Ada subteks mengenai media sosial, pertemanan palsu, sampai prasangka di sini, tapi Paul Feig memilih untuk tak mengeksplorasinya secara mendalam dan cenderung fokus dalam bercerita semata. Walau konsekuensinya adalah film terasa seperti sajian misteri konvensional, keputusan ini mesti diakui bijak karena si pembuat film sejatiinya kurang telaten dalam menangani materi misteri. Selama Emily masih bertingkah normal atau saat karakter tersebut tiba-tiba raib tanpa jejak, A Simple Favor masih tersaji menggigit. Penonton dihujam rangkaian pertanyaan terkait: siapa sebenarnya Emily? Apa yang dirahasiakannya? Dan, bisakah kita juga mempercayai Stephanie yang mungkin saja tak sepolos kelihatannya? Namun saat tabir misteri perlahan terungkap, film secara perlahan tapi pasti mulai goyah. Twist yang disodorkan cukup menarik – walau cita rasanya amat soap opera – pengungkapan oleh Paul Feig lah yang mengurangi sensasi gregetnya. Bukan disebabkan elemen komedik yang tetap dominan, melainkan ada kesan terburu-buru seolah-olah ingin lekas diakhiri. Masih menghibur sih, hanya saja momen klimaks yang mestinya bisa menjadi gong bagi film terasa berlalu begitu saja secara cepat sampai-sampai penonton di sebelah saya nyeletuk, “lho, udahan nih?”.

Exceeds Expectations (3,5/5)